A.
Sejarah Mobilitas di Indonesia
Dalam perjalanan sejarah mobilitas yang
diwarnai dengan transmigrasi di Indonesia yang sudah mencapai satu abad, sejak
mulai dilaksanakan pada jaman pemerintahan kolonial Belanda tahun 1905 hingga
saat ini, telah melalui berbagai masa pemerintahan dan kekuasaan yang berbeda.
Walaupun secara demografis pengertian umum dari transmigrasi ini tetap sama
dari masa ke masa, yaitu memindahkan penduduk dari wilayah yang padat ke
wilayah yang kurang atau jarang penduduknya, tetapi dalam pelaksanaanya
didasarkan pada latar belakang, tujuan, dan kebijakan yang berbeda-beda, baik
yang tertulis secara resmi maupun terselubung (Nugraha, 2009).
1.
Masa Percobaan Kolonisasi
Sejarah
transmigrasi di Indonesia dimulai sejak dilaksanakannya kolonisasi oleh
pemerintah kolonial Belanda tahun 1905. Kebijakan kolonisasi penduduk dari
pulau Jawa ke luar Jawa dilatarbelakangi oleh:
1) Pelaksanaan salah satu program politik
etis, yaitu emigrasi untuk mengurangi jumlah penduduk pulau Jawa dan
memperbaiki taraf kehidupan yang masih rendah.
2) Pemilikan tanah yang makin sempit di
pulau Jawa akibat pertambahan penduduk yang cepat telah menyebabkan taraf hidup
masyarakat di pulau Jawa semakin menurun.
3) Adanya kebutuhan pemerintah kolonial
Belanda dan perusahaan swasta akan tenaga kerja di daerah-daerah perkebunan dan
pertambangan di luar pulau Jawa.
Politik
etis yang mulai diterapkan pada tahun 1900 bertujuan mensejahterakan masyarakat
petani yang telah dieksploitasi selama dilaksanakannya culture stelsel (sistem
tanam paksa). Sebab system tanam paksa tersebut secara empirik telah
menyebabkan orang-orang pribumi semakin menderita. Dari sisi ekonomi, telah
menyebabkan pula berubahnya sistem perekonomian tradisional ke arah pola
perekonomian baru (dualisme ekonomi) dan bertambah miskinnya penduduk terutama
masyarakat petani.
2.
Periode Lampongsche Volksbanks
Catatan
akurat mengenai berapa banyak jumlah penduduk yang dipindahkan pada periode ini
masih perlu dicari. Data yang berasal dari beberapa dokumen antara lain
memperlihatkan antara tahun 1912-1922 jumlah penduduk yang diberangkatkan ke
daerah kolonisasi sebanyak 16.838 orang. Kemudian pada tahun 1922 dibuka lagi
pemukiman kolonisasi baru yang lebih besar yang diberi nama Wonosobo di dekat
Kota Agung Lampung Selatan serta pemukiman kolonisasi dekat Sukadana di Lampung
Tengah. Pemukiman yang lebih kecil dibuka di Sumatera Selatan, Bengkulu,
Kalimantan, dan Sulawesi.
Data
yang lain menunjukkan sampai akhir tahun 1921 jumlah penduduk asal Jawa di
desa-desa kolonisasi Gedongtataan telah mencapai jumlah 19.572 orang. Ada juga
yang menulis, antara tahun 1905-1929 jumlah orang Jawa yang dipindahkan ke luar
Jawa sudah mencapai angka 24.300 orang. Dengan demikian jika dihitung
berdasarkan jumlah orang yang diberangkatkan antara tahun 1905-1911 sebanyak
4.800 orang, berarti antara tahun 1911-1929 pemerintah kolonial Belanda telah
memindahkan penduduk melalui program kolonisasi sekitar 19.500 orang.
Pada
periode Lampongsche volksbank, pelaksanaan kolonisasi belum dapat dikatakan
berhasil, penyebabnya adalah perencanaan yang kurang matang dan implementasi
yang banyak menyimpang. Masalah tempat pemukiman, pengairan, dan yang lainnya
tidak direncanakan secara matang, sehingga menyebabkan kerugian secara
finansial. Kesehatan pemukim baru pun menjadi terabaikan, berdampak pada
tingkat mortalitas penduduk di pemukiman kolonisasi menjadi tinggi. Walaupun
pemerintah kolonial Belanda memiliki konsep, bahwa daerah tujuan kolonisasi
harus memiliki suasana sosial budaya dan system pertanian yang hampir sama
dengan daerah asal. Namun faktanya daerah yang telah dipersiapkan tersebut
tidak memenuhi kriteria. Sistem irigasi yang dibuat tidak memadai, demikian
juga prasarana transportasi, sehingga banyak pemukim baru yang tidak betah, dan
kembali ke Jawa. Dalam perekrutan calon peserta kolonisasi, pemerintah member
instruksi kepada lurah-lurah yang diberi target untuk mengirimkansejumlah orang
ke daerah kolonisasi. Sistem seleksi yang diatur oleh lurah menjadikan mereka
mudah mengatur untuk menyingkirkan orangorang tidak disukai karena dianggap
saingan atau lawan politik lurah. Cara rekruitmen demikian menyebabkan orang
tidak siap untuk memulai kehidupan di daerah tujuan kolonisasi.
Sejalan
dengan pencanangan kolonisasi, perkebunan-perkebunan di Sumatera Timur
mengalami kemajuan. Hal ini berdampak pada pelaksanaan kolonisasi, karena ada
persaingan antara calo tenaga kerja dengan petugas kolonisasi yang diberi
target untuk mencari orang sebagai peserta kolonisasi. Isu yang dikembangkan
oleh calo tenaga kerja adalah hal-hal negatif tentang kolonisasi, agar penduduk
Jawa lebih tertarik untuk menjadi kuli kontrak di perkebunan Sumatera. Pada
akhirnya orang-orang di pulau Jawa sendiri lebih tertarik menjadi kuli kontrak
ketimbang ikut kolonisasi, sebab dianggap lebih menguntungkan secara ekonomi.
Ada dugaan pemerintah kolonial Belanda menjadi tidak terlalu serius menangani
kolonisasi, setelah melihat fenomena banyaknya orang Jawa yang tertarik untuk
menjadi kuli kontrak pada perkebunanperkebunan di Sumatera Timur. Hal ini
disebabkan pemerintah kolonial Belanda sendiri, dalam melaksanakan kolonisasi
ini memiliki tujuan yang terselubung yaitu untuk mendukung penyediaan tenaga
kerja murah bagi perkebunan-perkebunan tanaman eksport dalam rangka mendukung
perkembangan ekonominya. Artinya program kolonisasi ini dianggap menjadi tidak
penting, manakala sudah banyak penduduk Jawa yang tertarik untuk menjadi kuli
kontrak di Sumatera (Nugraha, 2009).
3. Jaman Depresi Ekonomi Dunia
Terjadinya
arus migrasi penduduk yang deras dari pulau Jawa untuk menjadi kuli kontrak di
Sumatera berlangsung menjelang terjadinya depresi ekonomi dunia. Himpitan
kesulitan hidup di Jawa telah mendorong mereka secara mandiri dan sukarela
bermigrasi ke Sumatera. Hal ini, pada akhirnya menyebabkan pemerintah kolonial
Belanda mengubah kebijakan kolonisasi.
Pada
masa peralihan antara tahun 1927- 1930 pemerintah hanya menyediakan biaya
transportasi untuk mereka yang mengikuti program kolonisasi. Depresi ekonomi
yang terus berlanjut telah berpengaruh terhadap perekonomian pemerintah kolonial
Belanda. Permintaan tenaga kerja dari perkebunan-perkebunan di Sumatera menjadi
kurang, bahkan sebagian mengurangi tenaga kerjanya, sehingga banyak kuli
kontrak yang kembali ke pulau Jawa. Pemerintah Belanda mulai merasa perlu
mengintensifkan kembali kolonisasi. Pemerintah memperketat persyaratan untuk
mengikuti kolonisasi yaitu:
a. Peserta harus benar-benar petani, sebab
jika bukan dapat menyebabkan ketidakberhasilan di lokasi kolonisasi
b. Fisik harus kuat agar bisa bekerja
keras
c. Harus muda untuk menurunkan fertilitas
di pulau Jawa
d. Sudah berkeluarga untuk menjamin
ketertiban di lokasi baru
e. Tidak memiliki anak kecil dan banyak
anak karena akan menjadi beban
f. Bukan bekas kuli kontrak karena
dianggap sebagai propokator yang akan menimbulkan keresahan di pemukiman baru
g. Harus waspada terhadap “perkawinan
koloniasai” sebagai sumber keributan
h. Jika wanita tidak sedang hamil karena
diperlukan tenaganya pada tahun-tahun pertama bermukim di tempat baru
i.
Jika bujangan harus menikah terlebih dahulu di Jawa karena
dikhawatirkan mengganggu istri orang lain.
j.
Peraturan tersebut tidak berlaku jika seluruh masyarakat
desa ikut kolonisasi.
Sejalan
dengan kesulitan ekonomi yang dialami oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai
dampak depresi ekonomi dunia sementara minat masyarakat Jawa untuk ikut
kolonisasi cukup tinggi, pemerintah akhirnya merubah pola kolonisasi untuk
menekan biaya dengan system bawon. Pemukim kolonisasi terdahulu diharapkan
memakai tenaga kerja pemukim baru dengan prinsip tolong-menolong dan gotong-royong.
Pemekaran daerah kolonisasi baru dibuat tidak jauh dari kolonisasi lama.
Penempatan
pemukim baru dilakukan pada bulan Februari-Maret saat menjelang musim panen
padi di pemukiman lama, sehingga mereka bisa ikut bawon. Bagian hasil bawon
pemukim baru di Lampung dibuat lebih besar dengan perbandingan 1:7 atau 1:5,
artinya buruh mendapatkan satu bagian setiap tujuh atau lima bagian pemilik.
Pada saat itu sistem bawon di pulau Jawa umumnya menggunakan perbandingan 1:10.
Peserta kolonisasi mandiri pada periode ini boleh dikatakan lebih berhasil
dibandingkan dengan peserta sebelumnya, walaupun masih ada beberapa yang
kembali ke pulau Jawa. Kondisi demikian, memberikan daya tarik pada masyarakat
Jawa untuk ikut kolonisasi. Akhirnya dikembangkan daerah kolonisasi baru di
Palembang, Bengkulu, Jambi, Sumatera Utara, Sulawesi, dan Kalimantan.
Walaupun
pada pelaksanaan kolonisasi periode ini jumlah penduduk yang dipindahkan dari
pulau Jawa ke daerah kolonisasi cukup banyak dibandingkan dengan periode
sebelumnya, namun kalau dilihat dari aspek pengendalian penduduk pulau Jawa
belum bisa disebut berhasil. Pendapat ahli kependudukan Belanda pada saat itu,
jika ingin mengendalikan penduduk Jawa, penduduk yang dipindahlan harus
mencapai 80.000 keluarga per tahun. Pemerintah kolonial Belanda sampai
menjelang akhir masa kekuasaannya, hanya mampu memindahkan penduduk pulau Jawa
kurang dari seperlima dari target yang diharapkan per tahunnya. Data lain
menunjukkan antara tahun 1905-1941 penduduk yang berhasil dipindahkan hanya
berjumlah 189.938 orang. Akan tetapi jika dilihat dari aspek peningkatan
kesejahteraan peserta kolonisasi, mereka mungkin dapat disebut lebih baik
tingkat kehidupannya dibandingkan pada saat berada di daerah asalnya (Nugraha,
2009).
4.
Transmigrasi Masa Pendudukan Jepang
Sejak
tahun 1942 susunan pemerintahan di Lampung mengalami perubahan dengan perginya
pejabat-pejabat kolonial Belanda dari Binnenlands Bestuur. Ketika
tentara Jepang masuk ke Indonesia, kegiatan transmigrasi tetap dilaksanakan. Akan
tetapi karena sibuk dengan peperangan, rupanya penguasa Jepang tidak sempat
melakukan pengadministrasian kegiatan transmigrasi seperti halnya pada jaman
pemerintah kolonial Belanda, sehingga sangat sedikit dokumentasi mengenai transmigrasi
yang bisa ditemukan.
Diperkirakan
selama kekuasaan Jepang, penduduk pulau Jawa yang berhasil dipindahkan ke luar
Jawa melalui transmigrasi sekitar 2.000 orang. Tidak hanya di bidang
transmigrasi, kondisi kependudukan yang parah dimulai ketika tentara Jepang
mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan Belanda. Pada periode ini kondisi
perekonomian di Indonesia sangat buruk. Beberapa komoditi seperti tekstil,
alat-alat pertanian, bahan pangan menghilang dari pasaran. Terjadi pula
mobilisasi tenaga kerja (romusha) untuk dipekerjakan di perkebunanperkebunan
dan proyek-proyek pertahanan Jepang, baik di dalam maupun di luar negeri.
5.
Transmigrasi Setelah Kemerdekaan
Sudrajat (2006) mengungkapkan ada 3 masa setelah
kemerdekaan, yaitu: masa orde lama, masa orde baru, dan masa reformasi.
a.
Masa Orde Lama
Ketika
baru merdeka dari penjajahan Jepang, di Indonesia masih terjadi gejolak
politik, sehingga permasalahan kepadatan penduduk masih terabaikan. Baru tahun
1948 pemerintah Republik Indonesia membentuk panitia untuk mempelajari program
serta pelaksanaan transmigrasi yang diketuai oleh A. H. D. Tambunan. Walaupun
telah terbentuk kepanitiaan, keputusan yang menyangkut masalah transmigrasi
baru diambil pada tahun 1950. Bulan Desember 1950 merupakan awal mula
pemberangkatan transmigran di jaman kemerdekaan ke Sumatera Selatan.
Pelaksananya ditangani oleh Jawatan Transmigrasi yang berada di bawah
Kementrian Sosial. Pada tahun 1960 Jawatan Transmigrasi menjadi departemen yang
digabung dengan urusan perkoperasian dengan nama Depertemen Transmigrasi dan
Koperasi.
Pada
masa ini, selain tujuan demografis, tujuan lainnya tidak jelas. Namun Presiden
Soekarno sendiri tidak fokus pada kelebihan penduduk Jawa, tetapi hanya melihat
adanya ketimpangan kepadatan penduduk pulau Jawa dan luar Jawa. Akan tetapi di
kemudian hari yaitu seperti tercantum pada Undang-undang No. 20/1960 jelas
terbaca, bahwa tujuan transmigrasi adalah untuk meningkatkan keamanan,
kemakmuran, dan kesejahteraan rakyat, serta mempererat rasa persatuan dan
kesatuan bangsa. Target pemindahan penduduk pada jaman orde lama dinilai sangat
ambisius dan tidak realistis, dimana sasaran “Rencana 35 Tahun Tambunan” adalah
mengurangi penduduk pulau Jawa agar mencapai angka 31 juta jiwa pada tahun 1987
dari jumlah penduduk sebanyak 54 juta jiwa pada tahun 1952. Pada kenyataannya
antara tahun 1950-1959 pemerintah hanya berhasil memindahkan transmigran
sebanyak 227.360 orang.31 Revisi target transmigran sebenarnya telah dilakukan
dengan yang lebih realistis. Selama lima tahun, antara tahun 1956-1960
direncanakan pemindahan penduduk Jawa sebanyak 2 juta orang, atau rata-rata 400
ribu orang per tahun. Pada rencana delapan tahun selanjutnya, yaitu antara
tahun 1961-1968, Jawatan Transmigrasi menurunkan lagi tergetnya menjadi 1,56
juta orang, atau rata-rata 195 ribu orang per tahun.
Pada
periode rencana delapan tahun, muncul kebijakan Transmigrasi Gaya Baru pada
musyawarah nasional gerakan transmigrasi yang diselenggarakan pada bulan
Desember 1964. Konsepnya memindahkan kelebihan fertilitas total yang
diperkirakan mencapai angka 1,5 juta orang per tahun. Pada kebijakan ini,
muncul pula ide untuk melaksanakan transmigrasi swakarya, artinya transmigran
baru ditampung oleh transmigran lama seperti yang pernah dilakukan pada jaman
Belanda dengan sistem bawon, kemudian membuka hutan, membangun rumah, dan
membuat jalan sendiri, sehingga tanggungan pemerintah tidak terlampau besar.
Minat penduduk pulau Jawa untuk ikut transmigrasi pada periode ini cukup
tinggi. Bahkan mereka mau berangkat ke daerah transmigran atas biaya sendiri
tanpa bantuan pemerintah. Di tempat tujuan mereka cukup melapor untuk
memperoleh sebidang lahan dan bantuan material lainnya. Pada jaman orde lama,
ada pengkategorian transmigrasi, sehingga dikenal istilah transmigrasi umum,
transmigrasi keluarga, transmigrasi biaya sendiri, dan transmigrasi spontan.
Dalam sistem transmigrasi umum segala keperluan transmigran, sejak pendaftaran
sampai di lokasi menjadi tanggungan pemerintah. Pemerintah juga menanggung
biaya hidup selama delapan bulan pertama, bibit tanaman, serta alat-alat
pertanian.
Transmigrasi
keluarga merupakan merupakan sistem transmigrasi beruntun, artinya jika ada
keluarga transmigran ingin mengajak keluarganya yang masih tinggal di pulau
Jawa untuk tinggal di daerah transmigrasi, maka transmigran lama harus
menanggung biaya hidup dan perumahan transmigran baru. Sistem ini tidak jalan,
karena terlalumemberatkan peserta transmigrasi, sehingga tidak dilaksanakan
lagi sejak 1959. Transmigrasi biaya sendiri, mengharuskan calon transmigran
mendaftar di tempat asal, kemudian berangkat ke lokasi dengan ongkos sendiri,
setelah sampai di lokasi mereka mendapatkan lahan dan subsidi seperti
transmigran umum. Sedangkan transmigrasi spontan selain menanggung sendiri
ongkos ke lokasi, mereka pun harus mengurus sendiri keberangkatannya. Di tempat
tujuan baru mereka lapor untuk mendapatkan lahan di daerah yang telah
ditentukan.
b.
Masa Orde Baru
Pada
jaman orde baru, tujuan utama transmigrasi tidak sematamata memindahkan
penduduk dari pulau Jawa ke luar Jawa, namun ada penekanan pada tujuan
memproduksi beras dalam kaitan pencapaian swasembada pangan. Pembukaan daerah
transmigrasi diperluas ke wilayah Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan,
Sulawesi, bahkan sampai ke Papua. Tahun 1965-1969, belum ditentukan target
jumlah transmigran yang harus dipindahkan. Bahkan terkesan belum begitu
perhatian terhadap progran transmigrasi. Daerah transmigran seperti Lampung,
Jambi, Sumatera Selatan yang pada awalnya banyak sekali menerima transmigran,
pada periode ini hanya menerima sekitar 52 persen dari total transmigran yang
diberangkatkan. Jumlah yang dikirim ke Sulawesi sekitar 25 persen, sisanya ke
pulau-pulau lain seperti Kalimantan dan Papua. Jika pada masa orde lama dikenal
empat katagori transmigrasi, pada periode ini hanya dikenal dua kategori yaitu
transmigrasi umum dan transmigrasi spontan.
Pada
transmigrasi spontan pemerintah hanya mengorganisir perjalanan dari daerah asal
ke tempat tujuan, ongkos ongkos semua ditanggung peserta. Sementara
transmigrasi spontan, semua ongkos ditanggung pemerintah, dan di lokasi
memperoleh lahan seluah dua hektar, rumah, dan alat-alat pertanian, serta biaya
selama 12 bulan pertama untuk di daerah tegalan, dan 8 bulan pertama di daerah
pesawahan menjadi tanggungan pemerintah. Jumlah seluruh transmigran yang
berhasil dipindahkan pada periode ini sebanyak 182.414 orang atau sekitar
52.421 keluarga. Masih pada jaman orde baru, tepatnya tahun 1974 ketika Gunung
Merapi meletus, ada kejadian seluruh warga desa diikutsertakan dalam program
transmigrasi, di lokasi baru mereka menempati daerah yang sama. Dari kejadian
inilah kemudian muncul istilah transmigrasi bedol desa.
Pada
periode rencana pembangunan lima tahun (repelita) ke-2 antara tahunn 1974-1979,
konsep transmigrasi diintegrasikan ke dalam pembangunan nasional. Dalam
kerangka pembangunan nasional tersebut, transmigrasi diharapapkan dapat
meningkatkan ketahanan nasional, baik di bidang ekonomi, sosial, maupun budaya,
serta meningkatkan produksi pangan dan komoditi eksport. Produksi pertanian
diharapkan dapat mendukung sektor industri sebagai cita-cita pembangunan.35
Selain itu mulai tercetus pemikiran untuk mengembangkan daerah tujuan semenarik
mungkin, sehingga akan banyak penduduk yang tertarik untuk pindah dari pulau
Jawa dengan biaya mandiri tanpa tergantung pada pemerintah. Target transmigrasi
pada repelita ke-2 adalah memberangkatkan 50 ribu keluarga atau 250 ribu orang
per tahun, atau jika dihitung selama selama lima tahun, transmigran yang harus
diberangkatan sebanyak 1,25 juta orang. Target yang tidak realistis tersebut
pada tahun 1976 dikurangi menjadi 108 ribu keluarga selama lima tahun,
sedangkan realisasinya pemerintah hanya mampu memberangkatkan sebanyak 204 ribu
orang atau sekitar 16 persen dari target yang dicanangkan.
Masa
selanjutnya, pada repelita ke-3 (1979-1983) ada penekanan yang lebih mendalam
terhadap kepentingan pertahanan dan keamanan. Pelaksanaan transmigrasi spontan
lebih didorong lagi dengan mengembangkan kegiatan ekonomi di luar pulau Jawa
guna menarik minat calon transmigran. Target pemindahan transmigran sebanyak
250 ribu keluarga dapat dicapai, bahkan terlampaui sebanyak dua kali lipat.
Pemerintah berhasil memberangkatkan sebanyak 500 ribu keluarga. Mengingat
keberhasilan pada repelita ke-3, maka pada repelita ke-4 target transmigran
ditingkatkan lagi menjadi 750 ribu keluarga atau 3,75 juta orang. Pada akhir
bulan Oktober 1985 telah berhasil diberangkatkan sebanyak 350.606 keluarga atau
1.163.771 orang. Pada periode ini diintroduksi konsep tentang pelestarian
lingkungan, sehingga transmigrasi juga diberi misi agar bisa memulihkan sumber
daya alam yang sudah tereksploitasi dan memelihara lingkungan hidup.
c.
Masa Reformasi
Jumlah
penduduk yang berhasil dipindahkan dalam program transmigrasi, terus meningkat dari
tahun ke tahun. Walaupun demikian tetap tidak bisa mengejar bertambahnya jumlah
penduduk di pulau Jawa. Sebab fertilitas di pulau Jawa jauh melebihi angka
penduduk yang dapat dipindahkan ke luar pulau Jawa. Dengan demikian, jika
dilihat dari aspek demografis yang dikaitkan dengan pengurangan penduduk di
pulau Jawa, program transmigrasi ini tidak mencapai sasarannya. Diakui pula
oleh Departemen Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan, bahwa pelaksanaan
transmigrasi yang telah dilaksanakan hingga jaman orde baru belum memberikan
pengaruh yang merata, baik ditinjau dari sisi mikro yaitu tingkat perkembangan
UPT/Desa, maupun makro yaitu pada percepatan pertumbuhan wilayah. Pembangunan
transmigrasi pun belum berhasil menjadi pendorong pembangunan, karena belum
dapat memberikan kontribusi yang optimal dalam pembangunan wilayah. Mengingat
kondisi seperti di atas, perlu dicari paradigma baru dalam pembangunan
transmigrasi. Paradigma baru yang sudah jauh berbeda dengan paradigma lama,
terjadi dengan dikeluarkannya Undangundang No. 5/1997. Pelaksanaan transmigrasi
tidak lagi difokuskan pada pemecahan masalah persebaran penduduk, yang selama
90 tahun terakhir memang tidak berhasil dipecahkan, namun bergeser pada
pengembangan ekonomi dan pembangunan daerah. Dalam Undang-undang tersebut
dinyatakan, bahwa tujuan transmigrasi adalah:
1) untuk meingkatkan kesejahteraan
transmigran dan masyarakat sekitar,
2) meningkatkan pemerataan pembangunan
daerah, dan
3) memperkuat persatuan dan kesatuan
bangsa.
Melalui tujuannya itu
diharapkan rakyat Indonesia yang berada di luar the circular flow of income dalam
sistem ekonomi nasional bisa lebih cepat mencapai tingkat kesejahteraannya.
Terjadinya ketimpangan akibat strategi industrialisasi yang terlalu bertumpu di
pulau Jawa yang telah menyebabkan ketimpangan antar daerah dapat dikurangi.
Gejala disintegrasi dan separatis memerlukan strategi dan kebijakan yang tepat
termasuk dari pihak Departemen Transmigrasi dan PPH.
Penyempurnaan
pelaksanaan transmigrasi yang diperlukan antara lain, agar transmigrasi
diupayakan secara merata di wilayah tanah air, dan pemukiman transmigran tidak
merupakan enclave serta memiliki keterkaitan fungsional dengan kawasan
di sekitarnya. Berbagai kelompok etnis harus berbaur dalam kebhinekaan,
penduduk setempat juga harus mendapat perhatian yang sama, dengan tujuan untuk
meredam potensi konflik antara pendatang dan penduduk asli. Dengan
diberlakukannya otonomi daerah, maka pemerintah daerah akan memiliki tanggung
jawab dan wewenang yang lebih besar dalam proses penyelenggaraan pemerintahan
dan pembangunan di daerahnya masing-masing. Sehingga, pembangunan transmigrasi
harus adiletakan pada kerangka pembangunan daerah yang selanjutnya harus dapat
dijabarkan dalam program-program transmigrasi.
Berdasarkan pada penjelasan
di atas visi transmigrasi ke depan adalah “mewujudkan komunitas baru yang
merupakan hasil integrasi harmonis antara penduduk setempat dan masyarakat
pendatang, yang sejahtera serta dapat tumbuh dan berkembang secara mandiri dan
berkelanjutan”. Adapun misinya adalah “engisi pembangunan di daerah sesuai
dengan kebutuhan masyarakat setempat dan pendatang, serta sesuai dengan rencana
pembangunan daerah dan rencana pembangunan nasional”. Misi di atas dilakukan
melalui konsep pengembangan wilayah dan pengembangan masyarakat, antara lain
dengan upaya peningkatan pembangunan daerah dalam rangka mengembangkan
pusat-pusat pertumbuhan ekonomi yang ada, dan mewujudkan agropolitan baru
sebagi pusat pertumbuhan ekonomi. Selain itu, dilakukan pendekatan kultural dengan
memperhatikan sistem nilai dan perilaku serta adatistiadat masyarakat setempat,
sehingga pembangunan transmigrasi tidak lagi bersifat eksklusif dalam kehidupan
siklis, melainkan melalui berbagai teknik pembauran.
Konsep manajemen
pembangunan transmigrasi yang dijalankan antara lain, pembangunan transmigrasi
yang reformis tidak lagi menekankan pada target pemindahan transmigran,
melainkan pada pencapaian pertumbuhan kesejahteraan transmigran yang dikaitkan
dengan kemampuan daya beli dari transmigran yang paling miskin dengan ukuran
keberhasilan minimal transmigran terhadap kebutuhan dasarnya. Selain itu,
menjadikan transmigrasi sebagai suatu kebutuhan yang diminta oleh masyarakat
setempat, dunia usaha, dan pemerintah daerah.
A.
Pengertian Mobilitas Penduduk
Mobilitas penduduk horizontal atau geografis meliputi semua
gerakan (movement) penduduk yang melintasi batas wilayah tertentu dalam
periode waktu tertentu pula (Mantra 1984, 4). Batas wilayah umumnya
dipergunakan batas administrasi misalnya : propinsi, kabupaten, kecamatan,
kelurahan atau pedukuhan. Bentuk-bentuk mobilitas penduduk dapat pula dibagi
menjadi dua, yaitu mobilitas permanen atau migrasi, dan mobilitas non-permanen
(mobilitas sirkuler). Migrasi adalah perpindahan penduduk dari satu wilayah ke
wilayah lain dengan maksud untuk menetap di daerah tujuan. Sedangkan mobilitas
sirkuler ialah gerakan penduduk dari satu tempat ke tempat lain dengan tidak
ada niat untuk menetap di daerah tujuan. Secara operasional, migrasi dapat
diukur berdasarkan konsep ruang dan waktu. Seseorang dapat disebut sebagai
seorang migran, apabila orang tersebut melintasi batas wilayah administrasi dan
lamanya bertempat tinggal di daerah tujuan minimal enam bulan (Mantra, 1984).
Ada beberapa teori yang menerangkan mengapa
seseorang mengambil keputusan melakukan mobilitas. Pertama, seseorang
mengalami tekanan (stres), baik ekonomi, sosial, maupun psikologi di
tempat ia berada. Tiap-tiap individu mempunyai kebutuhan yang berbeda-beda,
sehingga suatu wilayah oleh seseorang dinyatakan sebagai wilayah yang dapat
memenuhi kebutuhannya, sedangkan orang lain tidak. Kedua, terjadi
perbedaan nilai kefaedahan wilayah antara tempat yang satu dengan tempat
lainnya. Apabila tempat yang satu dengan lainnya tidak ada perbedaan nilai
kefaedahan wilayah, tidak akan terjadi mobilitas penduduk.
Perilaku mobilitas penduduk menurut Ravenstein atau
disebut dengan hukum-hukum migrasi penduduk adalah sebagai berikut (Mantra,
2003).
1. Para migran cenderung memilih tempat
terdekat sebagai daerah tujuan
2. Faktor paling dominan yang mempengaruhi
seseorang untuk bermigrasi adalah sulitnya memperoleh pekerjaan dan pendapatan
di daerah asal dan kemungkinan untuk memperoleh pekerjaan dan pendapatan yang
lebih baik di daerah tujuan. Daerah tujuan harus memiliki kefaedahan wilayah (place
utility) lebih tinggi dibandingkan dengan daerah asal.
3. Berita-berita dari sanak saudara atau
teman yang telah berpindah ke daerah lain merupakan informasi yang sangat
penting bagi orang-orang yang ingin bermigrasi.
4. Informasi negative dari daerah tujuan
mengurangi niat penduduk (migrasi potensial) untuk bermigrasi.
5. Semakin tinggi pengaruh kekotaan
terhadap seseorang, semakin besar mobilitasnya.
6. Semakin tinggi pendapatan seseorang,
semakin tinggi frekuensi mobilitanya.
7. Para migran cenderung memilih daerah
tempat teman atau sanak saudara bertempat tinggal di daerah tujuan. Jadi, arah
dan arus mobilitas penduduk menuju ke arah asal datangnya informasi.
8. Pola migrasi bagi seseorang maupun
sekelompok penduduk sulit diperkirakan. Hal ini karena banyak dipengaruhi oleh
kejadian yang mendadak seperti bencana alam, peperangan, atau epidemi.
9. Penduduk yang masih muda dan belum
kawin lebih banyak melakukan mobilitas dari pada mereka yang berstatus kawin.
B.
Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Mobilitas Penduduk
Mobilitas
penduduk mempunyai pengertian pergerakan penduduk dari satu daerah ke daerah
lain. Baik untuk sementara maupun untuk jangka waktu yang lama atau menetap
seperti mobilitas ulang-alik (komunitas) dan migrasi. Mobilitas penduduk adalah
perpindahan penduduk dari suatu tempat ke tempat yang lain atau dari suatu
daerah ke daerah lain.
Penduduk
yang melakukan mobilisasi tidaklah semata mata untuk berpindah tempat saja,
tetapi hal itu dilakukan oleh karena dorongan dari tiga faktor yaitu:
a) Penarik.
b) Pendorong.
c) Kendala.
Pada tahun 1885 E.G. Ravenstin ( Bogue,
1969: 755, dalam Suhardi, 2007) mempublikasikan yang dia sebut sebagai 7
hukum-hukum perpindahan penduduk (migrasi), yang terdiri dari:
1) Migrasi dan jarak, kebanyakan migran
melakukan perpindahan dalam jarak dekat. Bila jaraknya bertambah maka jumlah
migrant yang berpindah menurun.
2) Migrasi bertahap, penduduk semula
pindah dari daerah pedesaan ke tepi kota besar sebelum masuk ke dalam kota besar
tersebut.
3) Arus dan arus balik, tiap adanya arus
migrasi akan terjadi juga migrasi arus balik.
4) Daerah urban (perkotaan) dan rural
(pedesaan), penduduk perkotaan kurang melakukan migrasi dibandingkan dengan
penduduk daerah pedesaan.
5) Dominasi wanita pindah jarak dekat,
dalam jarak dekat wanita pindah lebih banyak daripada laki-laki.
6) Teknologi dan migrasi, perkembangan
teknologi cenderung meningkatkan migrasi.
7) Dominasi motif ekonomi, walaupun
berbagai jenis faktor dapat mendorong terjadinya perpindahan akan tetapi
keinginan untuk meningkatkan keadaan ekonomi merupakan kekuatan yang paling
potensial.
Faktor pendorong (push) yang
bersifat sentrifugal dan penarik (pull) yang bersifat sentripetal. Ardy
(2008) mngungkapkan perpindahan dari daerah asal (area of origin)
dimungkinkan oleh karena adanya beberap faktor pendorong yaitu:
1. Turunnya sumber daya alam.
2. Hilangnya mata pencaharian.
3. Diskriminasi yang bersifat penekanan
atau penyisihan
4. Memudarnya rasa ketertarikan oleh
karena kesamaan kepercayaan, kebiasaan atau kebersamaan perilaku baik antar
anggota keluarga maupun masyarakat sekitar.
5. Menjauhkan diri dari masyarakat oleh
karena tidak lagi kesempatan untuk pengembangan diri, pekerjaan atau
perkawinan.
6. Menjauhkan diri dari masyarakat oleh
karena bencana alam seperti banjir, kebakaran, kekeringan, gempa bumi, atau
epidemic penyakit.
Perpindahan ke daerah tujuan (area
of destination) dimungkinkan oleh karena adanya beberapa faktor penarik
yaitu:
1.
Kesempatan yang melebihi untuk bekerja sesuai dengan latar
belakang profesinya dibandingkan di daerah asal.
2.
Kesempatan memperoleh pendapatan yang lebih tinggi.
3.
Kesempatan yang lebih tinggi memperoleh pendidikan atau
pelatihan sesuai dengan spesialisasi yang dikehendaki.
4.
Keadaan lingkungan yang menyenangkan, seperti cuaca
perumahan, sekolah, da fasilitas umum lainnya.
5.
Ketergantungan, seperti dari seorang isteri terhadap
suaminya yang tinggal di tempat yang dituju.
6.
Penyediaan untuk melakukan berbagai kegiatan yang berbeda
atau yang baru dilihat dari berbagai sisi lingkungan, penduduk atau budaya
masyarakat sekitar.
”Faktor pendorong dan penarik
perpindahan penduduk ada yang negatif dan ada yang positif” (Abidin, 2010).
Faktor pendorong yang positif yaitu para migran ingin mencari atau menambah
pengalaman di daerah lain. Sedangkan faktor pendorong yang negatif yaitu
fasilitas untuk memenuhi kebutuhan hidup terbatas dan lapangan pekerjaan
terbatas pada pertanian. Faktor penarik yang positif yaitu daerah tujuan mempunyai
sarana pendidikan yang memadai dan lebih lengkap. Faktor penarik yang negatif
adalah adanya lapangan pekerjaan yang lebih bervariasi, kehidupan yang lebih
mewah, sehingga apa saja yang diperlukan akan mudah didapat dikota.
Pada masing-masing daerah terdapat
faktor-faktor yang menahan seseorang untuk tidak meninggalkan daerahnya atau
menarik orang untuk pindah ke daerah tersebut (faktor +), dan ada pula
faktor-faktor yang memaksa mereka untuk meninggalkan daerah tersebut (faktor
-). Selain itu ada pula faktor-faktor yang tidak mempengaruhi penduduk untuk
melakukan migrasi (faktor o). Diantara keempat faktor tersebut, faktor individu
merupakan faktor yang sangat menentukan dalam pengambilan keputusan untuk
migrasi. Penilaian positif atau negatif terhadap suatu daerah tergantung kepada
individu itu sendiri.
Besarnya jumlah pendatang untuk menetap
pada suatu daerah dipengaruhi besarnya faktor penarik (pull factor)
daerah tersebut bagi pendatang. Semakin maju kondisi sosial ekonomi suatu
daerah akan menciptakan berbagai faktor penarik, seperti perkembangan industri,
perdagangan, pendidikan, perumahan, dan transportasi. Kondisi ini diminati oleh
penduduk daerah lain yang berharap dapat memenuhi kebutuhan dan keinginannya.
Pada sisi lain, setiap daerah mempunyai faktor pendorong (push factor)
yang menyebabkan sejumlah penduduk migrasi ke luar daerahnya. Faktor pendorong
itu antara lain kesempatan kerja yang terbatas jumlah dan jenisnya, sarana dan
prasarana pendidikan yang kurang memadai, fasilitas perumahan dan kondisi
lingkungan yang kurang baik.
Everet S. Lee (1996, dalam Chotib,)
menambahkan bahwa selain kedua faktor pendorong dan penarik tersebut terdapat
juga faktor kendala antar daerah asal dengan daerah tujuan, yang kemudian
dikenal dengan faktor-faktor penarik kebutuhan (demand pull) pendorong
penyediaan (supply push) dan jejaring (network).
C.
Macam-Macam Mobilitas Penduduk
Mobilitas
penduduk dapat dibedakan antara mobilitas penduduk vertikal dan mobilitas
penduduk horinzontal. Mobilitas penduduk vertikal sering disebut dengan
perubahan status, atau perpindahan dari cara-cara hidup tradisional ke
cara-cara hidup yang lebih modern. Dan salah satu contohnya adalah perubahan
status pekerjaan. Seseorang mula-mula bekerja dalam sektor pertanian sekarang
bekerja dalam sektor non pertanian. Mobilitas penduduk horizontal atau sering
pula disebut dengan mobilitas penduduk geografis adalah gerak (movement)
penduduk yang melintas batas wilayah menuju ke wilayah yang lain dalam periode
waktu tertentu (Mantra, 1987). Penggunaan batas wilayah dan waktu untuk
indikator mobilitas penduduk horizontal ini mengikuti paradigma ilmu geografi
yang berdasarkan konsepnya atas wilayah dan waktu (space and time concept).
Mobilitas
penduduk adalah gerakan atau arus perpindahan penduduk dari suatu tempat ke
tempat lain. Peranan mobilitas penduduk terhadap laju pertumbuhan antara
wilayah yang satu dengan wilayah yang lain berbeda-beda.Untuk Indonesia secara
keseluruhan tingkat pertumbuhan penduduknya lebih di pengaruhi oleh tinggi rendahnya
sifat fertilitas dan mortalitas,karena migrasi netto hampir dikatakan nol,tidak
banyak orang Indonesia yang pindah keluar negeri,begitu juga orang luar negeri
pindah ke Indonesia.
Mobilitas penduduk di bagi menjadi dua macam yaitu:
1. Mobilitas permanen atau migrasi
Migrasi adalah
perpindahan penduduk dari satu wilayah ke wilayah lain dengan maksud untuk
menetap di daerah tujuan. Secara garis
besar migrasi dapat dibagi menjadi dua,yaitu :
a. Migrasi internasional yang dapat di
bedakan atas migrasi masuk (imigrasi) dan migrasi keluar (emigrasi).
s Imigrasi adalah masuknya penduduk suatu
negara ke negara lain baik untuk maksud berkunjung, bekerja ataupun kepentingan
lain dalam waktu tertentu atau untuk selamanya, seperti datangnya orang Eropa
yang masuk ke Amerika.
s Emigrasi adalah perpindahan penduduk
dari suatu negara ke negara lain dengan tujuan untuk menetap atau
bekerja(penduduk yang keluar dari suatu negara lain untuk menetap atau
bekerja).
Contoh: perginya
orang Indonesia (TKI atau TKW) ke timur tengah untuk bekerja.
b. Migrasi internal yang disebut juga
Transmigrasi
Transmigrasi adalah
perpindahan penduduk dari suatu daerah ke daerah lain dalam suatu wilayah
negara. Contoh:pindahnya penduduk dari jawa kedaerah daerah di Sumatra,
Kalimantan, Irian jaya dsb. Tujuan
Transmigrasi:
1. Mengusahakan kekayaan alam di luar
pulau jawa.
2. Supaya terjadi asimilasi antar suku,
sehingga perasaan kesukuan hilang. Dan ini merupakan salah satu realisasi dari
Sumpah Pemuda.
3. Untuk peertahanan keamanan dan
ketahanan nasional.
4. penyebaran penduduk supaya
merata,sehingga program pembangunan dapat merata ke seluruh pelosok tanah air. Faktor faktor penghambat dan usaha mengatasi
transmigrasi umumnya tradisi dan adat istiadat, rakyat petani umumnya
sangat terikat pada tanah dan kampung halamannya.Sangat terkenal pepatah jawa
yang berbunyi “makan tak makan asal kumpul”.
Usaha
usaha untuk mengatasinya:
s Meningkatkan kelancaran komonikasi
antara daerah asal dan daerah transmigrasi sekurang kurangnya melalui hubungan
pos.
s mengadakan persiapan yang intensip bagi
calon transmigran baik fisik maupun mental melalui penerangan pendidikan dan
latihan.
s Perlu ditingkatkan koordinasi dan
singkronisasi antara daerah pengirim dan daerah penerima transmigrasi.
2. Mobilitas non permanen atau mobilitas
serkuler
Mobilitas penduduk
sirkuler atau mobilitas non permanen adalah gerak penduduk dari suatu wilayah
menuju ke wilayah lain dengan tidak ada niatan menetap di daerah tujuan.
Sebagai contoh, di Indonesia (menurut batasan sensus penduduk) mobilitas
penduduk sirkuler dapat didefinisikan sebagai gerak penduduk yang melintas
batas propinsi menuju ke propinsi lain dalam jangka waktu kurang enam bulan.
Hal ini sesuai dengan paradigma geografis yang didasarkan atas konsep ruang
(space) dan waktu (time). Data mobilitas penduduk sirkuler sukar didapat. Hal
ini disebabkan para pelaku mobilitas sirkuler tidak memberitahu kepergian
mereka kepada kantor desa di daerah asal, begitu juga dengan kedatangan mereka
di daerah tujuan. Meskipun deminian, dengan segala keterbatasan data, mobilitas
penduduk Indonesia, baik permanent maupun nonpermanent (sirkuler) diduga
frekuensinya akan terus meningkat dan semakin lama semakin cepat. Menurut
Ananta (1995), suatu revolusi mobilitas tampaknya juga telah terjadi di
Indonesia. Hal ini dipengaruhi oleh tersedianya prasarana transport dan
komunikasi yang mewadai dan modern.
D.
Bentuk-Bentuk Mobilitas Penduduk
Mobilitas tradisional, dimana penduduk
melakukan mobilitas atas dasar untuk memenuhi kebutuhan primer terutama pangan.
Aktivitas mobilitas tradisional merupakan arus desa ke kota yang termasuk dalam
pengertina urbanisasi.
Mobilitas pra-modern, yang merupakan
transisi drai mobilitas tradisional menuju mobilitas modern. Dalam hal ini
penduduk mulai melakukan mobilitas dengan tujuan yang lebih luas bukan hanya
sekedar untuk cukuppangan. Aktivitas dari desa ke kota sangat meningkat
disertai dengan mobilitas antar kota dan juga mobilitas dari kota ke luar kota
(pedesaan). Sehingga terjadi dengan apa yang disebut urbanisasi modern. Penduduk
mobilitas atau migrasi dengan tujuan yang lebih luas termasuk kesenangan dan
kenyamanan
Mobilitas modern, dimana mobiolitas
penduduk telah mmelampaui batas-batas Negara dengan berbgai macam-macam tujuan
baik kegiatan perdagangan maupun berwiraswasta.
Mobilitas canggih atau super-modern,
dimana mobilitas dilakukan telah melampaui pengertian berwiraswasta secara
wajar yang dapat dimasukkan dalam kategori berfoya-foya dengan konsumsi yang
berlebihan.
Bentuk mobilitas penduduk dapat
dipahami berkaitan dengan keberhasilan dalam aktivitas ekonomi yang meliputi 2
komponen yaitu kesempatan kerja (produktifitas) dan pendapatan (atau dana).
Komponen mobilitas tersebut dapat di pandang sebagai indikator kualitas
kehidupan masyarakat.
E. Perilaku Mobilitas Penduduk
Perilaku mobilitas penduduk oleh
Ravenstain disebut dengan hukum-hukum migrasi sebagai berikut: Para migran
cenderung memilih tempat terdekat sebagai daerah tujuan. Faktor paling dominan
yang mempengaruhi seseorang untuk bermigran adalah situasinya memperoleh
pekerjaan di daerah asal dan kemungkinan untuk memperoleh pekerjaan dan
pendapatan yang lebih baik di daerah tujuan. Daerah tujuan mempunyai nilai
kefaedahan wilayah (place utility) lebih tinggi dibanding dengan daerah asal.
Semakin tinggi pengaruh kekotaan terhadap seseorang, semakin besat tingkat
mobilitasnya. Semakin tinggi pendapatan seseorang, semakin tinggi frukuensi
mobilitasnya
Penduduk yang masih muda dan belum
kawin lebih banyak melakukan mobilitas dari pada mereka yang berstatus kawin.
Penduduk yang berpendidikan tinggi biasanya lebih banyak melaksanakan mobilitas
dari pada yang berpendidikan rendah. Kepuasan terhadap kehidupan di masyarakat
baru tergantung pada hubungan sosial para pelaku hubungan sosial para pelaku
mobilitas dengan masyarakat tersebut. Kepuasan terhadap kehidupan di kota
tergantung pada kemampuan perseorangan untuk mendapatkan pekerjaan dan adanya
kesempatan bagi anak-anak untuk berkembang. Setelah menyesuaikan diri dengan
kehidupan kota, para pelaku mobilitas pindah ke tempat tinggal dan memilih
daerah tempat tinggal dipengaruhi oleh daerah tempat bekerja.
F.
Sumber Data Mobilitas Penduduk dan Analisis
Pada umumnya ada tiga sumber data
mobilitas penduduk yaitu: sensus penduduk, registrasi penduduk dan survei
penduduk. Diantara ketiga sumber data mobilitas penduduk data yang didapat dari
sensus penduduk dan survei penduduk yang paling lengkap, hanya kelemahannya
data yang didapat dari sensus penduduk hanya meliputi mobilitas penduduk yang
bersifat permanen saja. Dan hasil registrasi penduduk dan survei penduduk
diperoleh data baik mobilitas permanen maupun nonpermanen, hanya kelemahannya
tidak semua mobilitas penduduk dapat dicatat.
G.
Perubahan Mobilitas Penduduk Selama Transisi Demografi
Pada
masa pretransisi, menurut Sutomo (2010:7) merupakan ”fase yang memiliki
ciri-ciri adanya tingkat kelahiran yang tinggi, tetai diikuti pula dengan
tingkat kematian yang tinggi. Dengan demikian, tidak terjadi perrtumbuhan
penduduk”. Pada fase ini sumber daya manusia masih sangat rendah. pendidikan
yang diteriama oleh setiap orang sangat terbatas. Hal ini menyebabkan
pengetahuan yang dimiliki oleh orang-orang pada saat itu sangat rendah.
Pengetahuan yang rendah ini sangat berdampak pada cara hidup mereka. Dalam
memenuhi kebutuhannya orang-orang pada masa itu sangat bergantung pada alam.
Terutama masalah kebutuhan pokok yaitu pangan, orang-orang pada masa itu
melakukan kegiatan ”hunting and gathering” yaitu berburu dan
mengumpulkan makanan. Demikian pula dengan kebutuhan-kebutuhan yang lainnya,
mereka memenuhinya dengan cara yang paling sederhana. Karena ketersediaan
sumber daya alam di suatu daerah terbatas jika di pakai terus-menerus suatu
saat pasti akan habis juga. Jika hal ini terjadi maka terjadilah perpidahan
penduduk. Mereka mencari tempat baru yang menurut mereka memiliki sumber daya
alam yang melimpah yang bisa dipakai dalam beberapa waktu yang lama. Perpidahan
ini relatif sering dilakukan oleh masyarakat pada saat itu sehingga
mobilitasnya sangat tinggi.
Fase
transisi dibagi menjadi 3 yaitu ”awal transisi, pertengahan transisi, dan akhir
transisi” (Sutomo, 2010:7). Awal transisi memiliki ciri-ciri tingkat kematian
mulai menurun, tetapi tidak diikuti oleh penurunan tingkat kematian.
Pertengahan transisi ditandai menurunnya tingkat kelahihan, sementara tingkat
kematian juga terus menurun. Sedangkan akhir transisi dicirikan menurunnya
tingkat kematian dengan cepat, sementara laju penurunan tingkat kematian sudah
melambat.
Sedangkan
pada masa transisi, pendidikan sudah mulai berkembang. Masyarakat pada masa ini
sudah memiliki cukup pengetahuan untuk memenuhi kebutuhannya dan tidak terlalu
bergantung dengan alam. Penemuan-penemuan mulai bermunculan, baik dalam bidang
kesehatan maupun yang lainnya. Hal ini berdampak besar bagi kualitas kehidupan manusia
pada saat itu. Suatu perubahan yang paling besar adalah masyarakat pada saat
itu sudah dapat menernakkan dan membudidayakan tanaman(domestikasi). Dengan
berubahnya sistem hidup mereka dari hunting and gathering menjadi system yang
lebih efisien yaitu domestikasi maka masyarakat pada saat itu mulai tingal
menetap di suatu daerah. kebutuhan-kebutuhan mereka mulai dapat dipenuhi
sendiri, ketergantungan pada alam pun mulai berkurang. Maka mobilitas
masyarakat pun berkurang.
Fase
terakhir yaitu fase posttransisi, menurut Sutomo (2010:7) mempunyai ciri-ciri
”baik tingkat kelahiran maupun tingkat kematian keduanya berada pada tingkat
yang rendah. Dengan demikian, laju pertumbuhan penduduk menjadi sangat kecil,
bahkan dapat terjadi tidak ada lagi pertumbuhan penduduk”
Pada
fase terakhir yaitu fase posttransisi, dimana pendidikan yang didapatkan oleh
setiap masyarakat sudah sangat tinggi, pengetahuan yang dimiliki pun bertambah
dengan pesat. Banyak penemuan –penemuan baru di segala bidang. Kualitas
kesehatan dan bidang-bidang lainnya sangat meningkat. Peningkatan teknologi
menyebabkan semua kebutuhan yang diperlukan tersedia dalam suau tempat.
Orang-orang idak perlu lagi bepergian ke tempat-tempat yang jauh untuk memenuhi
kebutuhannya. Hal ini menyebabkan mobilitas penduduk pada masa itu sangat
rendah.
Berbagai jenis migrasi yang terjadi membawa dampak yang berbeda-beda bagi
masyarakat asal maupun masyarakat tujuan.
1)
Migrasi internasional
1.
Dampak negatif adanya imigrasi dan cara
penanggulangannya
a.
Masuknya budaya-budaya asing yang tidak sesuai
Makin banyak orang asing yang masuk ke Indonesia berarti makin banyak pula
budaya yang masuk. Karena orang-orang asing tersebut juga membawa budaya Negara
asalnya yang sudah melekat. Banyak budaya asing yang tidak sesuai dengan budaya
asli bangsa Indonesia. Hal tersebut lambat laun dapat merusak budaya bangsa
Indonesia. Contohnya adalah sikap konsumtif dan pergaulan bebas. Untuk
mengatasi dampak negatif tersebut, kita harus menjaga budaya bangsa agar tidak
terpengaruh dengan budaya luar. Di samping itu penduduk juga harus bersikap
selektif dan mempertebal keimanan dan ketakwaan sehingga terhindar dari
budaya-budaya yang bertentangan dengan nilai agama dan budaya bangsa.
Pemerintah juga dapat berperan dengan menciptakan iklim kondusif bagi
berkembangnya budaya-budaya daerah dan nasional, seperti dengan menetapkan
undang-undang dan kebijakan-kebijakan yang mendukung upaya pelestarian nilai
dan budaya bangsa.
b.
Masuknya orang-orang asing yang bermasalah.
Imigran-imigran yang masuk ke Indonesia tidak semuanya berniat baik. Ada
kalanya beberapa di antara imigran tersebut mempunyai tujuan yang tidak baik,
seperti mengedarkan narkoba, menjual barang-barang ilegal, melarikan diri dari
jeratan hukum di negaranya (buronan), untuk melakukan kegiatan memata-matai,
dan lain-lain. Hal tersebut sangatlah mengganggu bagi kestabilan politik,
ekonomi, sosial, dan budaya Indonesia. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan
ketahanan nasional yang tinggi dengan melibatkan semua elemen bangsa. TNI dan
Polri perlu meningkatkan kewaspadaan penjagaan terutama di daerah-daerah
perbatasan dan melakukan pemeriksaan rutin dan disiplin terhadap imigran (WNA).
Pemerintah melalui petugas keimigrasian dan bea cukai menerapkan aturan yang
ketat dan disiplin dalam membuat ijin, memeriksa, dan menindak imigran beserta
barang-barang yang masuk ke Indonesia. Masyarakat dapat bertindak proaktif
dengan melaporkan ke pihak yang berwajib jika melihat kejanggalan-kejanggalan
yang berkaitan dengan imigran (WNA).
2.
Dampak negatif adanya emigrasi dan cara
penanggulangannya
a.
Keengganan orang-orang Indonesia di luar negeri
untuk kembali ke Indonesia. Banyak orang Indonesia yang bekerja di luar negeri
enggan untuk kembali ke Indonesia. Mereka beralasan bahwa upah pekerja di luar
negeri lebih tinggi bila dibandingkan dengan di Indonesia. Selain itu, juga
suasana dan kehidupan di luar negeri dianggap lebih kondusif. Keengganan para
pekerja tersebut terutama tenaga ahli untuk kembali ke Indonesia dapat
mengurangi tenaga ahli di Indonesia. Usaha untuk menanggulangi hal tersebut
dapat dilakukan dengan memperkokoh rasa nasionalisme. Juga dapat dilakukan
dengan menciptakan iklim dalam negeri yang kondusif, terutama dalam dunia
industri dan investasi, sehingga memicu membaik dan meningkatnya kehidupan
ekonomi masyarakat.
b.
Rusaknya citra Indonesia di mata negara lain.
Rusaknya citra Indonesia di mata negara lain disebabkan oleh ulah orang-orang
Indonesia di negara lain yang tidak bertanggung jawab, seperti melakukan tindak
kejahatan di negara lain, buron yang lari ke negara lain, dan lain-lain. Untuk
menanggulangi masalah tersebut dapat dilakukan oleh pemerintah melalui pihak
keimigrasian untuk lebih memperketat perijinan pengajuan paspor/visa ke negara
lain.
Pemerintah juga bisa menjalin kerja sama secara baik dengan aparat-aparat yang berwenang negara lain ataupun membuat kebijakan-kebijakan dan perjanjian-perjanjian dengan Negara lain, misalnya perjanjian ekstradisi dan lain-lain.
Pemerintah juga bisa menjalin kerja sama secara baik dengan aparat-aparat yang berwenang negara lain ataupun membuat kebijakan-kebijakan dan perjanjian-perjanjian dengan Negara lain, misalnya perjanjian ekstradisi dan lain-lain.
2)
Migrasi nasional
Migrasi nasional antara lain transmigrasi dan urbanisasi.
1.
Dampak negatif adanya transmigrasi dan cara
penanggulangannya
a.
Memerlukan banyak biaya. Program transmigrasi
terutama yang bukan swakarsa memerlukan banyak biaya. Biaya-biaya tersebut
untuk pemberangkatan sejumlah transmigran dan pembukaan lahan baru. Untuk
menanggulangi masalah tersebut pemerintah dapat memprioritaskan transmigrasi
swakarsa, sehingga biaya ditanggung oleh transmigran sendiri. Adapun pemerintah
hanya
sebatas menyediakan lahan baru saja. Namun untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat agar melakukan transmigrasi swakarsa bukanlah pekerjaan yang mudah. Oleh karena itu pemerintah harus senantiasa memberikan penyuluhanpenyuluhan pada masyarakat.
sebatas menyediakan lahan baru saja. Namun untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat agar melakukan transmigrasi swakarsa bukanlah pekerjaan yang mudah. Oleh karena itu pemerintah harus senantiasa memberikan penyuluhanpenyuluhan pada masyarakat.
b.
Sering timbulnya konflik antarmasyarakat
Masyarakat setempat, khususnya masyarakat tujuan transmigrasi yang berada di
pedalaman sangat sulit menerima pendatang baru, apalagi mereka menganggap bahwa
transmigran mengambil lahan garapan mereka. Hal tersebut seringmemicu
kecemburuan antara masyarakat setempat terhadap para transmigran, bahkan di
antara mereka sering terjadi konflik. Untuk menanggulangi masalah tersebut
perlu dilakukan penyuluhan dan pembinaan terhadap masyarakat setempat di daerah
tujuan transmigrasi. Di samping itu, juga diberikan bantuan berupa
fasilitas-fasilitas yang serupa yang diberikan pada para transmigran sehingga
dapat meminimalisir kecemburuan sosial. Pemerintah juga bisa mengadakan forum
bersama yang mempertemukan antara masyarakat setempat dan para transmigran,
sehingga lebih mempererat hubungan di antara mereka.
2.
Dampak urbanisasi dan upaya penanggulangannya
Urbanisasi yang terus menerus berlangsung dapat meningkatkan
jumlah penduduk di kota dengan cepat. Di sisi lain jumlah penduduk di desa makin berkurang. Hal ini menyebabkan ketimpangan pembangunan dan ketimpangan sosial antara desa dengan kota.
jumlah penduduk di kota dengan cepat. Di sisi lain jumlah penduduk di desa makin berkurang. Hal ini menyebabkan ketimpangan pembangunan dan ketimpangan sosial antara desa dengan kota.
a.
Dampak negatif urbanisasi bagi kota
- Meningkatnya jumlah pengangguran. Urbanisasi mengakibatkan, persaingan kerja makin tinggi dan kesempatan kerja makin kecil, sehingga orang sulit mencari pekerjaan.
- Meningkatnya angka kriminalitas. Kebutuhan hidup di kota sangatlah kompleks, namun usaha pemenuhannya kian sulit. Hal itulah yang membutakan mata sebagian orang, sehingga nekat menghalalkan segala cara demi memenuhi kebutuhan, seperti merampok, menipu, mencuri korupsi, dan lain-lain.
- Munculnya slum area (daerah kumuh). Dengan adanya urbanisasi menjadikan lahan pemukiman
makin sempit. Jumlah lahan yang tersedia
tidak sebanding dengan jumlah penduduknya, sehingga sulit untuk mencari lahan untuk
mendirikan rumah. Meskipun ada, lahan tersebut harganya sangat mahal, karena
banyak orang yang menginginkannya. Mahalnya harga tanah tersebut menjadikan
masyarakat tidak mampu membeli. Akhirnya mereka lebih memilih tinggal di kolong
jembatan, bantaran sungai, membuat rumah kardus, bahkan ada yang tinggal di
daerah pemakaman.
b.
Dampak negatif bagi desa
Urbanisasi ternyata membawa pengaruh yang besar bagi masyarakat di desa.
Pembangunan dan dinamisasi desa menjadi menurun. Hal tersebut disebabkan
karena:
- Tenaga terampil di desa berkurang karena berpindah ke kota.
- Penduduk desa yang bersekolah di kota umumnya enggan kembali ke desa.
- Tenaga yang tertinggal di desa, umumnya orang-orang tua yang sudah tidak terampil dan produktif lagi. Untuk menanggulangi atau bahkan mencegah munculnya dampak-dampak negatif urbanisasi tersebut, perlu diupayakan untuk menekan dan memperkecil laju urbanisasi. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan:
- Pemerataan pembangunan industri sampai ke desa-desa.
- Pembangunan infrastruktur jalan ke desa-desa, sehingga memperlancar hubungan desa dengan kota.
- Mengoptimalkan usaha pertanian, sehingga tingkat pendapatanmasyarakat desa.
- Pembangunan fasilitas umum di desa, seperti listrik, puskesmas, sekolah, pasar, dan lain-lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar