Selasa, 22 Mei 2012

Pola Pemukiman Penduduk


Pola persebaran pemukiman penduduk dipengaruhi oleh keadaan iklim, keadaan tanah, tata air, topografi dan ketersediaan sumber daya alam yang terdapat di wilayah tersebut.
Ada tiga pola pemukiman penduduk dalam hubungannya dengan bentang alamnya, yaitu sebagai berikut:
A. Pola Pemukiman Memanjang
Pola pemukiman memanjang memiliki ciri pemukiman berupa deretan memanjang karena mengikuti jalan, sungai, rel kereta api atau pantai.
Pemukiman Penduduk Memanjang

1. Mengikuti Jalan
Pada daerah ini pemukiman berada di sebelah kanan kiri jalan. Umumnya pola pemukiman seperti ini banyak terdapat di dataran rendah yang morfologinya landai sehingga memudahkan pembangunan jalan-jalan di pemukiman. Namun pola ini sebenarnya terbentuk secara alami untuk mendekati sarana transportasi
Pemukiman Penduduk Mengikuti Jalan

2. Mengikuti rel kereta api
Pada daerah ini pemukiman berada di sebelah kanan kiri rel kereta api. Umumnya pola pemukiman seperti ini banyak terdapat di daerah perkotaan terutama di DKI Jakarta dan atau daerah padat penduduknya yang dilalui rel kereta api.
Pemukiman Penduduk Mengikuti Rel Kereta Api

3. Mengikuti Alur Sungai
Pada daerah ini pemukiman terbentuk memanjang mengikuti aliran sungai. Biasanya pola pemukiman ini terdapat di daerah pedalaman yang memiliki sungai-sungai besar. Sungai-sungai tersebut memiliki fungsi yang sangat penting bagi kehidupan penduduk.
Pemukiman Penduduk Mengikuti Alur Sungai

4. Mengikuti Garis Pantai
Daerah pantai pada umumnya merupakan pemukiman penduduk yang bermata pencaharian nelayan. Pada daerah ini pemukiman terbentuk memanjang mengikuti garis pantai. Hal itu untuk memudahkan penduduk dalam melakukan kegiatan ekonomi yaitu mencari ikan ke laut.
Pemukiman Penduduk Mengikuti Garis Pantai

B. Pola Pemukiman Terpusat
Pola pemukiman ini mengelompok membentuk unit-unit yang kecil dan menyebar, umumnya terdapat di daerah pegunungan atau daerah dataran tinggi yang berelief kasar, dan terkadang daerahnya terisolir. Di daerah pegunungan pola pemukiman memusat mengitari mata air dan tanah yang subur. Sedangkan daerah pertambangan di pedalaman pemukiman memusat mendekati lokasi pertambangan. Penduduk yang tinggal di pemukiman terpusat biasanya masih memiliki hubungan kekerabatan dan hubungan dalam pekerjaan. Pola pemukiman ini sengaja dibuat untuk mempermudah komunikasi antarkeluarga atau antarteman bekerja.
.
Pemukiman Penduduk Terpusat di Daerah Pegunungan

Kebanyakan pola lokasi desa adalah berbentuk konsentris, dengan kantor kepala desa sebagai pusatnya. Di sekitarnya adalah tempat tinggal penduduk, yang lama kelamaan -seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk- terbentuklah dusun-dusun baru di sekitar dusun induk sehingga tidak sedikit desa yang terdiri dari empat atau lima dusun, bahkan lebih. Di Jawa (dulu) pengaturan desa-desanya memiliki pola yang hampir sama. Yaitu adanya pusat pemerintahan desa yang berada di tengah desa, kemudian lumbung desa, pekuburan desa, tempat pemandian umum, pasar, sekolah, masjid, dan gardu-gardu. Ada pula lapangan khusus untuk penggembalaan ternak. Di bagian luarnya terhampar lahan persawahan atau perladangan serta hutan.
Desa yang sudah maju memiliki tata ruang desa yang rapi dan asri, dengan deretan rumah dan pepohonan di kanan-kiri jalan. Umumnya setiap rumah memiliki pekarangan yang cukup luas. Sehingga jarak antara satu rumah dengan yang lainnya seringkali sangat jarang. Di luar Jawa, terdapat desa-desa atau pemukiman penduduk di atas air sungai. Rumah-rumah dibangun di atas rakit. Hal ini karena di sana banyak sungai besar. Di Kalimantan, misalnya, ada Sungai Barito, Sungai Kapuas, dan Sungai Mahakam. Di Sumatra ada Sungai Musi, Sungai Batanghari, dan Sungai Indragiri. Di perairan Riau, penduduk bermukim di atas perahu (suku laut). Pemukiman di atas air seperti itu tentu saja tata ruang desanya relatif kecil dan sulit diatur.
C. Pola Pemukiman Tersebar
Pola pemukiman tersebar terdapat di daerah dataran tinggi atau daerah gunung api dan daerah-daerah yang kurang subur. Pada daerah dataran tinggi atau daerah gunung api penduduk akan mendirikan pemukiman secara tersebar karena mencari daerah yang tidak terjal, morfologinya rata dan relatif aman. Sedangkan pada daerah kapur pemukiman penduduk akan tersebar mencari daerah yang memiliki kondisi air yang baik. Mata pencaharian penduduk pada pola pemukiman ini sebagian besar dalam bidang pertanian, ladang, perkebunan dan peternakan
Pemukiman Penduduk Tersebar

Urbanisasi


A.    Perkembangan Urbanisasi di Indonesia
Di masa mendatang, para ahli kependudukan memperkirakan bahwa proses urbanisasi di Indonesia akan lebih banyak disebabkan migrasi desa-kota. Perkiraan ini didasarkan pada makin rendahnya pertumbuhan alamiah penduduk di daerah perkotaan, relatif lambannya perubahan status dari daerah pedesaan menjadi daerah perkotaan, serta relatif kuatnya kebijaksanaan ekonomi dan pembangunan, sehingga memperbesar daya tarik daerah perkotaan bagi penduduk yang tinggal di daerah pedesaan.
Itulah sebabnya di masa mendatang, isu urbanisasi dan mobilitas atau migrasi penduduk menjadi sulit untuk dipisahkan dan akan menjadi isu yang penting dalam kebijaksanaan kependudukan di Indonesia. Jika di masa lalu dan dewasa ini, isu kelahiran (fertilitas) dan kematian (mortalitas) masih mendominasi kebijaksanaan kependudukan, di masa mendatang manakala tingkat kelahiran dan kematian sudah menjadi rendah, ukuran keluarga menjadi kecil, dan sebaliknya kesejahteraan keluarga dan masyarakat meningkat, maka keinginan untuk melakukan mobilitas bagi sebagian besar penduduk akan semakin meningkat dan terutama yang menuju daerah perkotaan.
Jika pada tahun 1980 migran di Indonesia berjumlah 3,7 juta jiwa, maka angka tersebut meningkat menjadi 5,2 juta jiwa pada tahun 1990 dan sedikit menurun menjadi 4,3 juta jiwa pada periode 1990-1995. Secara kumulatif diketahui bahwa sampai tahun 1980, jumlah penduduk Indonesia yang pernah melakukan migrasi adalah 11,4 juta jiwa, sedangkan pada tahun 1990 angka tersebut meningkat menjadi 17,8 juta jiwa. Lebih lanjut, data survei penduduk antarsensus (Supas) 1995 memperlihatkan bahwa tingkat urbanisasi di Indonesia pada tahun 1995 adalah 35,91 persen yang berarti bahwa 35,91 persen penduduk Indonesia tinggal di daerah perkotaan. Tingkat ini telah meningkat dari sekitar 22,4 persen pada tahun 1980 yang lalu. Sebaliknya proporsi penduduk yang tinggal di daerah pedesaan menurun dari 77,6 persen pada tahun 1980 menjadi 64,09 persen pada tahun 1995. Meningkatnya proses urbanisasi tersebut tidak terlepas dari kebijaksanaan pembangunan perkotaan, khususnya pembangunan ekonomi yang dikembangkan oleh pemerintah.
Sebagaimana diketahui peningkatan jumlah penduduk akan berkorelasi positif dengan meningkatnya urbanisasi di suatu wilayah. Ada kecenderungan bahwa aktivitas perekonomian akan terpusat pada suatu area yang memiliki tingkat konsentrasi penduduk yang cukup tinggi. Hubungan positif antara konsentrasi penduduk dengan aktivitas kegiatan ekonomi ini akan menyebabkan semakin membesarnya area konsentrasi penduduk, sehingga menimbulkan apa yang dikenal dengan nama daerah perkotaan.
B.       Faktor yang Menarik dan Mendorong Urbanisasi di Indonesia
Seseorang dari desa berniat untuk hijrah atau pergi ke kota, biasanya mendapatkan pengaruh yang kuat dalam bentuk ajakan, informasi media massa, impian pribadi, terdesak kebutuhan ekonomi, dan lain sebagainya. Pengaruh tersebut bisa dalam bentuk sesuatu yang mendorong, memaksa atau faktor pendorong seseorang untuk urbanisasi, maupun dalam bentuk yang menarik perhatian atau faktor penarik. Di bawah ini adalah beberapa atau sebagian contoh yang pada dasarnya dapat menggerakkan seseorang untuk melakukan urbanisasi perpindahan dari pedesaaan ke perkotaan.
Faktor penarik terjadinya urbanisasi:
·        Kehidupan kota yang lebih modern dan mewah.
·        Sarana dan prasarana kota yang lebih lengkap.
·        Banyak lapangan pekerjaan di kota.
·        Di kota banyak perempuan cantik dan laki-laki ganteng.
·        Pengaruh buruk sinetron Indonesia.
·        Pendidikan sekolah dan perguruan tinggi jauh lebih baik dan berkualitas.

Faktor pendorong terjadinya urbanisasi:
·        Lahan pertanian yang semakin sempit.
·        Merasa tidak cocok dengan budaya tempat asalnya.
·        Menganggur karena tidak banyak lapangan pekerjaan di desa.
·        Terbatasnya sarana dan prasarana di desa.
·        Diusir dari desa asal.
·        Memiliki impian kuat menjadi orang kaya.



C.      Kebijaksanaan dalam Pengembangan Urbanisasi di Indonesia
Kebijaksanaan urbanisasi di Indonesia. Ada dua kelompok besar kebijaksanaan pengarahan urbanisasi di Indonesia yang saat ini sedang dikembangkan. Pertama, mengembangkan daerah-daerah pedesaan agar memiliki ciri-ciri sebagai daerah perkotaan. Upaya tersebut sekarang ini dikenal dengan istilah “urbanisasi pedesaan. Kedua, mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru, atau dikenal dengan istilah “daerah penyangga pusat pertumbuhan”.
Kelompok kebijaksanaan pertama merupakan upaya untuk mempercepat tingkat urbanisasi tanpa menunggu pertumbuhan ekonomi, yaitu dengan melakukan beberapa terobosan yang bersifat non-ekonomi. Bahkan perubahan tingkat urbanisasi tersebut diharapkan memacu tingkat pertumbuhan ekonomi. Untuk itu perlu didorong pertumbuhan daerah pedesaan agar memiliki ciri-ciri perkotaan, namun tetap dikenal pada nuansa pedesaan. Dengan demikian, apa yang harus dikembangkan adalah membangun penduduk pedesaan agar memiliki ciri-ciri penduduk perkotaan dalam arti positif tanpa harus merubah suasana fisik pedesaan secara berlebihan.
Sudah barang tentu bersamaan dengan pembangunan penduduk pedesaan tersebut diperlukan sistem perekonomian yang cocok dengan potensi daerah pedesaan itu sendiri. Jika konsep urbanisasi pedesaan seperti di atas dapat dikembangkan dan disepakati, maka tingkat urbanisasi di Indonesia dapat dipercepat perkembangannya tanpa merusak suasana tradisional yang ada di daerah pedesaan dan tanpa menunggu pertumbuhan ekonomi yang sedemikian tinggi. Bahkan sebaliknya, dengan munculnya para penduduk di daerah pedesaan yang bersuasana perkotaan tersebut, mereka dapat menjadi motor pertumbuhan ekonomi dengan tetap mempertahankan aspek keserasian, keseimbangan, dan keselarasan antara tuntutan pertumbuhan ekonomi dan keseimbangan ekosistem serta lingkungan alam.
Kelompok kebijaksanaan kedua merupakan upaya untuk mengembangkan kota-kota kecil dan sedang yang selama ini telah ada untuk mengimbangi pertumbuhan kota-kota besar dan metropolitan. Pada kelompok ini, kebijaksanaan pengembangan perkotaan diklasifikasikan ke dalam tiga bagian, yaitu:
a.       Kebijaksanaan ekonomi makro yang ditujukan terutama untuk menciptakan lingkungan atau iklim yang merangsang bagi pengembangan kegiatan ekonomi perkotaan. Hal ini antara lain meliputi penyempurnaan peraturan dan prosedur investasi, penetapan suku bunga pinjaman dan pengaturan perpajakan bagi peningkatan pendapatan kota,
b.      Penyebaran secara spesial pola pengembangan kota yang mendukung pola kebijaksanaan pembangunan nasional menuju pertumbuhan ekonomi yang seimbang, serasi dan berkelanjutan, yang secara operasional dituangkan dalam kebijaksanaan tata ruang kota/ perkotaan, dan
c.       Penanganan masalah kinerja masing-masing kota.

Dengan demikian kebijaksanaan pengembangan perkotaan di Indonesia dewasa ini dilandasi pada konsepsi yang meliputi: pengaturan mengenai sistem kota-kota, peningkatan peran masyarakat dan swasta. Dengan terpadunya sistem-sistem perkotaan yang ada di Indonesia, akan terbentuk suatu hierarki kota besar, menengah, dan kecil yang baik sehingga tidak terjadi “dominasi” salah satu kota terhadap kota-kota lainnya.

MOBILITAS PENDUDUK


A.    Sejarah Mobilitas di Indonesia
Dalam perjalanan sejarah mobilitas yang diwarnai dengan transmigrasi di Indonesia yang sudah mencapai satu abad, sejak mulai dilaksanakan pada jaman pemerintahan kolonial Belanda tahun 1905 hingga saat ini, telah melalui berbagai masa pemerintahan dan kekuasaan yang berbeda. Walaupun secara demografis pengertian umum dari transmigrasi ini tetap sama dari masa ke masa, yaitu memindahkan penduduk dari wilayah yang padat ke wilayah yang kurang atau jarang penduduknya, tetapi dalam pelaksanaanya didasarkan pada latar belakang, tujuan, dan kebijakan yang berbeda-beda, baik yang tertulis secara resmi maupun terselubung (Nugraha, 2009).
1.      Masa Percobaan Kolonisasi
Sejarah transmigrasi di Indonesia dimulai sejak dilaksanakannya kolonisasi oleh pemerintah kolonial Belanda tahun 1905. Kebijakan kolonisasi penduduk dari pulau Jawa ke luar Jawa dilatarbelakangi oleh:
1)      Pelaksanaan salah satu program politik etis, yaitu emigrasi untuk mengurangi jumlah penduduk pulau Jawa dan memperbaiki taraf kehidupan yang masih rendah.
2)      Pemilikan tanah yang makin sempit di pulau Jawa akibat pertambahan penduduk yang cepat telah menyebabkan taraf hidup masyarakat di pulau Jawa semakin menurun.
3)      Adanya kebutuhan pemerintah kolonial Belanda dan perusahaan swasta akan tenaga kerja di daerah-daerah perkebunan dan pertambangan di luar pulau Jawa.
Politik etis yang mulai diterapkan pada tahun 1900 bertujuan mensejahterakan masyarakat petani yang telah dieksploitasi selama dilaksanakannya culture stelsel (sistem tanam paksa). Sebab system tanam paksa tersebut secara empirik telah menyebabkan orang-orang pribumi semakin menderita. Dari sisi ekonomi, telah menyebabkan pula berubahnya sistem perekonomian tradisional ke arah pola perekonomian baru (dualisme ekonomi) dan bertambah miskinnya penduduk terutama masyarakat petani.
2.      Periode Lampongsche Volksbanks
Catatan akurat mengenai berapa banyak jumlah penduduk yang dipindahkan pada periode ini masih perlu dicari. Data yang berasal dari beberapa dokumen antara lain memperlihatkan antara tahun 1912-1922 jumlah penduduk yang diberangkatkan ke daerah kolonisasi sebanyak 16.838 orang. Kemudian pada tahun 1922 dibuka lagi pemukiman kolonisasi baru yang lebih besar yang diberi nama Wonosobo di dekat Kota Agung Lampung Selatan serta pemukiman kolonisasi dekat Sukadana di Lampung Tengah. Pemukiman yang lebih kecil dibuka di Sumatera Selatan, Bengkulu, Kalimantan, dan Sulawesi.
Data yang lain menunjukkan sampai akhir tahun 1921 jumlah penduduk asal Jawa di desa-desa kolonisasi Gedongtataan telah mencapai jumlah 19.572 orang. Ada juga yang menulis, antara tahun 1905-1929 jumlah orang Jawa yang dipindahkan ke luar Jawa sudah mencapai angka 24.300 orang. Dengan demikian jika dihitung berdasarkan jumlah orang yang diberangkatkan antara tahun 1905-1911 sebanyak 4.800 orang, berarti antara tahun 1911-1929 pemerintah kolonial Belanda telah memindahkan penduduk melalui program kolonisasi sekitar 19.500 orang.
Pada periode Lampongsche volksbank, pelaksanaan kolonisasi belum dapat dikatakan berhasil, penyebabnya adalah perencanaan yang kurang matang dan implementasi yang banyak menyimpang. Masalah tempat pemukiman, pengairan, dan yang lainnya tidak direncanakan secara matang, sehingga menyebabkan kerugian secara finansial. Kesehatan pemukim baru pun menjadi terabaikan, berdampak pada tingkat mortalitas penduduk di pemukiman kolonisasi menjadi tinggi. Walaupun pemerintah kolonial Belanda memiliki konsep, bahwa daerah tujuan kolonisasi harus memiliki suasana sosial budaya dan system pertanian yang hampir sama dengan daerah asal. Namun faktanya daerah yang telah dipersiapkan tersebut tidak memenuhi kriteria. Sistem irigasi yang dibuat tidak memadai, demikian juga prasarana transportasi, sehingga banyak pemukim baru yang tidak betah, dan kembali ke Jawa. Dalam perekrutan calon peserta kolonisasi, pemerintah member instruksi kepada lurah-lurah yang diberi target untuk mengirimkansejumlah orang ke daerah kolonisasi. Sistem seleksi yang diatur oleh lurah menjadikan mereka mudah mengatur untuk menyingkirkan orangorang tidak disukai karena dianggap saingan atau lawan politik lurah. Cara rekruitmen demikian menyebabkan orang tidak siap untuk memulai kehidupan di daerah tujuan kolonisasi.
Sejalan dengan pencanangan kolonisasi, perkebunan-perkebunan di Sumatera Timur mengalami kemajuan. Hal ini berdampak pada pelaksanaan kolonisasi, karena ada persaingan antara calo tenaga kerja dengan petugas kolonisasi yang diberi target untuk mencari orang sebagai peserta kolonisasi. Isu yang dikembangkan oleh calo tenaga kerja adalah hal-hal negatif tentang kolonisasi, agar penduduk Jawa lebih tertarik untuk menjadi kuli kontrak di perkebunan Sumatera. Pada akhirnya orang-orang di pulau Jawa sendiri lebih tertarik menjadi kuli kontrak ketimbang ikut kolonisasi, sebab dianggap lebih menguntungkan secara ekonomi. Ada dugaan pemerintah kolonial Belanda menjadi tidak terlalu serius menangani kolonisasi, setelah melihat fenomena banyaknya orang Jawa yang tertarik untuk menjadi kuli kontrak pada perkebunanperkebunan di Sumatera Timur. Hal ini disebabkan pemerintah kolonial Belanda sendiri, dalam melaksanakan kolonisasi ini memiliki tujuan yang terselubung yaitu untuk mendukung penyediaan tenaga kerja murah bagi perkebunan-perkebunan tanaman eksport dalam rangka mendukung perkembangan ekonominya. Artinya program kolonisasi ini dianggap menjadi tidak penting, manakala sudah banyak penduduk Jawa yang tertarik untuk menjadi kuli kontrak di Sumatera (Nugraha, 2009).
3.      Jaman Depresi Ekonomi Dunia
Terjadinya arus migrasi penduduk yang deras dari pulau Jawa untuk menjadi kuli kontrak di Sumatera berlangsung menjelang terjadinya depresi ekonomi dunia. Himpitan kesulitan hidup di Jawa telah mendorong mereka secara mandiri dan sukarela bermigrasi ke Sumatera. Hal ini, pada akhirnya menyebabkan pemerintah kolonial Belanda mengubah kebijakan kolonisasi.
Pada masa peralihan antara tahun 1927- 1930 pemerintah hanya menyediakan biaya transportasi untuk mereka yang mengikuti program kolonisasi. Depresi ekonomi yang terus berlanjut telah berpengaruh terhadap perekonomian pemerintah kolonial Belanda. Permintaan tenaga kerja dari perkebunan-perkebunan di Sumatera menjadi kurang, bahkan sebagian mengurangi tenaga kerjanya, sehingga banyak kuli kontrak yang kembali ke pulau Jawa. Pemerintah Belanda mulai merasa perlu mengintensifkan kembali kolonisasi. Pemerintah memperketat persyaratan untuk mengikuti kolonisasi yaitu:
a.       Peserta harus benar-benar petani, sebab jika bukan dapat menyebabkan ketidakberhasilan di lokasi kolonisasi
b.      Fisik harus kuat agar bisa bekerja keras
c.       Harus muda untuk menurunkan fertilitas di pulau Jawa
d.       Sudah berkeluarga untuk menjamin ketertiban di lokasi baru
e.       Tidak memiliki anak kecil dan banyak anak karena akan menjadi beban
f.       Bukan bekas kuli kontrak karena dianggap sebagai propokator yang akan menimbulkan keresahan di pemukiman baru
g.       Harus waspada terhadap “perkawinan koloniasai” sebagai sumber keributan
h.      Jika wanita tidak sedang hamil karena diperlukan tenaganya pada tahun-tahun pertama bermukim di tempat baru
i.        Jika bujangan harus menikah terlebih dahulu di Jawa karena dikhawatirkan mengganggu istri orang lain.
j.        Peraturan tersebut tidak berlaku jika seluruh masyarakat desa ikut kolonisasi.
Sejalan dengan kesulitan ekonomi yang dialami oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai dampak depresi ekonomi dunia sementara minat masyarakat Jawa untuk ikut kolonisasi cukup tinggi, pemerintah akhirnya merubah pola kolonisasi untuk menekan biaya dengan system bawon. Pemukim kolonisasi terdahulu diharapkan memakai tenaga kerja pemukim baru dengan prinsip tolong-menolong dan gotong-royong. Pemekaran daerah kolonisasi baru dibuat tidak jauh dari kolonisasi lama.
Penempatan pemukim baru dilakukan pada bulan Februari-Maret saat menjelang musim panen padi di pemukiman lama, sehingga mereka bisa ikut bawon. Bagian hasil bawon pemukim baru di Lampung dibuat lebih besar dengan perbandingan 1:7 atau 1:5, artinya buruh mendapatkan satu bagian setiap tujuh atau lima bagian pemilik. Pada saat itu sistem bawon di pulau Jawa umumnya menggunakan perbandingan 1:10. Peserta kolonisasi mandiri pada periode ini boleh dikatakan lebih berhasil dibandingkan dengan peserta sebelumnya, walaupun masih ada beberapa yang kembali ke pulau Jawa. Kondisi demikian, memberikan daya tarik pada masyarakat Jawa untuk ikut kolonisasi. Akhirnya dikembangkan daerah kolonisasi baru di Palembang, Bengkulu, Jambi, Sumatera Utara, Sulawesi, dan Kalimantan.
Walaupun pada pelaksanaan kolonisasi periode ini jumlah penduduk yang dipindahkan dari pulau Jawa ke daerah kolonisasi cukup banyak dibandingkan dengan periode sebelumnya, namun kalau dilihat dari aspek pengendalian penduduk pulau Jawa belum bisa disebut berhasil. Pendapat ahli kependudukan Belanda pada saat itu, jika ingin mengendalikan penduduk Jawa, penduduk yang dipindahlan harus mencapai 80.000 keluarga per tahun. Pemerintah kolonial Belanda sampai menjelang akhir masa kekuasaannya, hanya mampu memindahkan penduduk pulau Jawa kurang dari seperlima dari target yang diharapkan per tahunnya. Data lain menunjukkan antara tahun 1905-1941 penduduk yang berhasil dipindahkan hanya berjumlah 189.938 orang. Akan tetapi jika dilihat dari aspek peningkatan kesejahteraan peserta kolonisasi, mereka mungkin dapat disebut lebih baik tingkat kehidupannya dibandingkan pada saat berada di daerah asalnya (Nugraha, 2009).
4.      Transmigrasi Masa Pendudukan Jepang
Sejak tahun 1942 susunan pemerintahan di Lampung mengalami perubahan dengan perginya pejabat-pejabat kolonial Belanda dari Binnenlands Bestuur. Ketika tentara Jepang masuk ke Indonesia, kegiatan transmigrasi tetap dilaksanakan. Akan tetapi karena sibuk dengan peperangan, rupanya penguasa Jepang tidak sempat melakukan pengadministrasian kegiatan transmigrasi seperti halnya pada jaman pemerintah kolonial Belanda, sehingga sangat sedikit dokumentasi mengenai transmigrasi yang bisa ditemukan.
Diperkirakan selama kekuasaan Jepang, penduduk pulau Jawa yang berhasil dipindahkan ke luar Jawa melalui transmigrasi sekitar 2.000 orang. Tidak hanya di bidang transmigrasi, kondisi kependudukan yang parah dimulai ketika tentara Jepang mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan Belanda. Pada periode ini kondisi perekonomian di Indonesia sangat buruk. Beberapa komoditi seperti tekstil, alat-alat pertanian, bahan pangan menghilang dari pasaran. Terjadi pula mobilisasi tenaga kerja (romusha) untuk dipekerjakan di perkebunanperkebunan dan proyek-proyek pertahanan Jepang, baik di dalam maupun di luar negeri.
5.      Transmigrasi Setelah Kemerdekaan
Sudrajat (2006) mengungkapkan ada 3 masa setelah kemerdekaan, yaitu: masa orde lama, masa orde baru, dan masa reformasi.
a.    Masa Orde Lama
Ketika baru merdeka dari penjajahan Jepang, di Indonesia masih terjadi gejolak politik, sehingga permasalahan kepadatan penduduk masih terabaikan. Baru tahun 1948 pemerintah Republik Indonesia membentuk panitia untuk mempelajari program serta pelaksanaan transmigrasi yang diketuai oleh A. H. D. Tambunan. Walaupun telah terbentuk kepanitiaan, keputusan yang menyangkut masalah transmigrasi baru diambil pada tahun 1950. Bulan Desember 1950 merupakan awal mula pemberangkatan transmigran di jaman kemerdekaan ke Sumatera Selatan. Pelaksananya ditangani oleh Jawatan Transmigrasi yang berada di bawah Kementrian Sosial. Pada tahun 1960 Jawatan Transmigrasi menjadi departemen yang digabung dengan urusan perkoperasian dengan nama Depertemen Transmigrasi dan Koperasi.
Pada masa ini, selain tujuan demografis, tujuan lainnya tidak jelas. Namun Presiden Soekarno sendiri tidak fokus pada kelebihan penduduk Jawa, tetapi hanya melihat adanya ketimpangan kepadatan penduduk pulau Jawa dan luar Jawa. Akan tetapi di kemudian hari yaitu seperti tercantum pada Undang-undang No. 20/1960 jelas terbaca, bahwa tujuan transmigrasi adalah untuk meningkatkan keamanan, kemakmuran, dan kesejahteraan rakyat, serta mempererat rasa persatuan dan kesatuan bangsa. Target pemindahan penduduk pada jaman orde lama dinilai sangat ambisius dan tidak realistis, dimana sasaran “Rencana 35 Tahun Tambunan” adalah mengurangi penduduk pulau Jawa agar mencapai angka 31 juta jiwa pada tahun 1987 dari jumlah penduduk sebanyak 54 juta jiwa pada tahun 1952. Pada kenyataannya antara tahun 1950-1959 pemerintah hanya berhasil memindahkan transmigran sebanyak 227.360 orang.31 Revisi target transmigran sebenarnya telah dilakukan dengan yang lebih realistis. Selama lima tahun, antara tahun 1956-1960 direncanakan pemindahan penduduk Jawa sebanyak 2 juta orang, atau rata-rata 400 ribu orang per tahun. Pada rencana delapan tahun selanjutnya, yaitu antara tahun 1961-1968, Jawatan Transmigrasi menurunkan lagi tergetnya menjadi 1,56 juta orang, atau rata-rata 195 ribu orang per tahun.
Pada periode rencana delapan tahun, muncul kebijakan Transmigrasi Gaya Baru pada musyawarah nasional gerakan transmigrasi yang diselenggarakan pada bulan Desember 1964. Konsepnya memindahkan kelebihan fertilitas total yang diperkirakan mencapai angka 1,5 juta orang per tahun. Pada kebijakan ini, muncul pula ide untuk melaksanakan transmigrasi swakarya, artinya transmigran baru ditampung oleh transmigran lama seperti yang pernah dilakukan pada jaman Belanda dengan sistem bawon, kemudian membuka hutan, membangun rumah, dan membuat jalan sendiri, sehingga tanggungan pemerintah tidak terlampau besar. Minat penduduk pulau Jawa untuk ikut transmigrasi pada periode ini cukup tinggi. Bahkan mereka mau berangkat ke daerah transmigran atas biaya sendiri tanpa bantuan pemerintah. Di tempat tujuan mereka cukup melapor untuk memperoleh sebidang lahan dan bantuan material lainnya. Pada jaman orde lama, ada pengkategorian transmigrasi, sehingga dikenal istilah transmigrasi umum, transmigrasi keluarga, transmigrasi biaya sendiri, dan transmigrasi spontan. Dalam sistem transmigrasi umum segala keperluan transmigran, sejak pendaftaran sampai di lokasi menjadi tanggungan pemerintah. Pemerintah juga menanggung biaya hidup selama delapan bulan pertama, bibit tanaman, serta alat-alat pertanian.
Transmigrasi keluarga merupakan merupakan sistem transmigrasi beruntun, artinya jika ada keluarga transmigran ingin mengajak keluarganya yang masih tinggal di pulau Jawa untuk tinggal di daerah transmigrasi, maka transmigran lama harus menanggung biaya hidup dan perumahan transmigran baru. Sistem ini tidak jalan, karena terlalumemberatkan peserta transmigrasi, sehingga tidak dilaksanakan lagi sejak 1959. Transmigrasi biaya sendiri, mengharuskan calon transmigran mendaftar di tempat asal, kemudian berangkat ke lokasi dengan ongkos sendiri, setelah sampai di lokasi mereka mendapatkan lahan dan subsidi seperti transmigran umum. Sedangkan transmigrasi spontan selain menanggung sendiri ongkos ke lokasi, mereka pun harus mengurus sendiri keberangkatannya. Di tempat tujuan baru mereka lapor untuk mendapatkan lahan di daerah yang telah ditentukan.
b.      Masa Orde Baru
Pada jaman orde baru, tujuan utama transmigrasi tidak sematamata memindahkan penduduk dari pulau Jawa ke luar Jawa, namun ada penekanan pada tujuan memproduksi beras dalam kaitan pencapaian swasembada pangan. Pembukaan daerah transmigrasi diperluas ke wilayah Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi, bahkan sampai ke Papua. Tahun 1965-1969, belum ditentukan target jumlah transmigran yang harus dipindahkan. Bahkan terkesan belum begitu perhatian terhadap progran transmigrasi. Daerah transmigran seperti Lampung, Jambi, Sumatera Selatan yang pada awalnya banyak sekali menerima transmigran, pada periode ini hanya menerima sekitar 52 persen dari total transmigran yang diberangkatkan. Jumlah yang dikirim ke Sulawesi sekitar 25 persen, sisanya ke pulau-pulau lain seperti Kalimantan dan Papua. Jika pada masa orde lama dikenal empat katagori transmigrasi, pada periode ini hanya dikenal dua kategori yaitu transmigrasi umum dan transmigrasi spontan.
Pada transmigrasi spontan pemerintah hanya mengorganisir perjalanan dari daerah asal ke tempat tujuan, ongkos ongkos semua ditanggung peserta. Sementara transmigrasi spontan, semua ongkos ditanggung pemerintah, dan di lokasi memperoleh lahan seluah dua hektar, rumah, dan alat-alat pertanian, serta biaya selama 12 bulan pertama untuk di daerah tegalan, dan 8 bulan pertama di daerah pesawahan menjadi tanggungan pemerintah. Jumlah seluruh transmigran yang berhasil dipindahkan pada periode ini sebanyak 182.414 orang atau sekitar 52.421 keluarga. Masih pada jaman orde baru, tepatnya tahun 1974 ketika Gunung Merapi meletus, ada kejadian seluruh warga desa diikutsertakan dalam program transmigrasi, di lokasi baru mereka menempati daerah yang sama. Dari kejadian inilah kemudian muncul istilah transmigrasi bedol desa.
Pada periode rencana pembangunan lima tahun (repelita) ke-2 antara tahunn 1974-1979, konsep transmigrasi diintegrasikan ke dalam pembangunan nasional. Dalam kerangka pembangunan nasional tersebut, transmigrasi diharapapkan dapat meningkatkan ketahanan nasional, baik di bidang ekonomi, sosial, maupun budaya, serta meningkatkan produksi pangan dan komoditi eksport. Produksi pertanian diharapkan dapat mendukung sektor industri sebagai cita-cita pembangunan.35 Selain itu mulai tercetus pemikiran untuk mengembangkan daerah tujuan semenarik mungkin, sehingga akan banyak penduduk yang tertarik untuk pindah dari pulau Jawa dengan biaya mandiri tanpa tergantung pada pemerintah. Target transmigrasi pada repelita ke-2 adalah memberangkatkan 50 ribu keluarga atau 250 ribu orang per tahun, atau jika dihitung selama selama lima tahun, transmigran yang harus diberangkatan sebanyak 1,25 juta orang. Target yang tidak realistis tersebut pada tahun 1976 dikurangi menjadi 108 ribu keluarga selama lima tahun, sedangkan realisasinya pemerintah hanya mampu memberangkatkan sebanyak 204 ribu orang atau sekitar 16 persen dari target yang dicanangkan.
Masa selanjutnya, pada repelita ke-3 (1979-1983) ada penekanan yang lebih mendalam terhadap kepentingan pertahanan dan keamanan. Pelaksanaan transmigrasi spontan lebih didorong lagi dengan mengembangkan kegiatan ekonomi di luar pulau Jawa guna menarik minat calon transmigran. Target pemindahan transmigran sebanyak 250 ribu keluarga dapat dicapai, bahkan terlampaui sebanyak dua kali lipat. Pemerintah berhasil memberangkatkan sebanyak 500 ribu keluarga. Mengingat keberhasilan pada repelita ke-3, maka pada repelita ke-4 target transmigran ditingkatkan lagi menjadi 750 ribu keluarga atau 3,75 juta orang. Pada akhir bulan Oktober 1985 telah berhasil diberangkatkan sebanyak 350.606 keluarga atau 1.163.771 orang. Pada periode ini diintroduksi konsep tentang pelestarian lingkungan, sehingga transmigrasi juga diberi misi agar bisa memulihkan sumber daya alam yang sudah tereksploitasi dan memelihara lingkungan hidup.
c.       Masa Reformasi
Jumlah penduduk yang berhasil dipindahkan dalam program transmigrasi, terus meningkat dari tahun ke tahun. Walaupun demikian tetap tidak bisa mengejar bertambahnya jumlah penduduk di pulau Jawa. Sebab fertilitas di pulau Jawa jauh melebihi angka penduduk yang dapat dipindahkan ke luar pulau Jawa. Dengan demikian, jika dilihat dari aspek demografis yang dikaitkan dengan pengurangan penduduk di pulau Jawa, program transmigrasi ini tidak mencapai sasarannya. Diakui pula oleh Departemen Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan, bahwa pelaksanaan transmigrasi yang telah dilaksanakan hingga jaman orde baru belum memberikan pengaruh yang merata, baik ditinjau dari sisi mikro yaitu tingkat perkembangan UPT/Desa, maupun makro yaitu pada percepatan pertumbuhan wilayah. Pembangunan transmigrasi pun belum berhasil menjadi pendorong pembangunan, karena belum dapat memberikan kontribusi yang optimal dalam pembangunan wilayah. Mengingat kondisi seperti di atas, perlu dicari paradigma baru dalam pembangunan transmigrasi. Paradigma baru yang sudah jauh berbeda dengan paradigma lama, terjadi dengan dikeluarkannya Undangundang No. 5/1997. Pelaksanaan transmigrasi tidak lagi difokuskan pada pemecahan masalah persebaran penduduk, yang selama 90 tahun terakhir memang tidak berhasil dipecahkan, namun bergeser pada pengembangan ekonomi dan pembangunan daerah. Dalam Undang-undang tersebut dinyatakan, bahwa tujuan transmigrasi adalah:
1)      untuk meingkatkan kesejahteraan transmigran dan masyarakat sekitar,
2)      meningkatkan pemerataan pembangunan daerah, dan
3)      memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.
Melalui tujuannya itu diharapkan rakyat Indonesia yang berada di luar the circular flow of income dalam sistem ekonomi nasional bisa lebih cepat mencapai tingkat kesejahteraannya. Terjadinya ketimpangan akibat strategi industrialisasi yang terlalu bertumpu di pulau Jawa yang telah menyebabkan ketimpangan antar daerah dapat dikurangi. Gejala disintegrasi dan separatis memerlukan strategi dan kebijakan yang tepat termasuk dari pihak Departemen Transmigrasi dan PPH.
Penyempurnaan pelaksanaan transmigrasi yang diperlukan antara lain, agar transmigrasi diupayakan secara merata di wilayah tanah air, dan pemukiman transmigran tidak merupakan enclave serta memiliki keterkaitan fungsional dengan kawasan di sekitarnya. Berbagai kelompok etnis harus berbaur dalam kebhinekaan, penduduk setempat juga harus mendapat perhatian yang sama, dengan tujuan untuk meredam potensi konflik antara pendatang dan penduduk asli. Dengan diberlakukannya otonomi daerah, maka pemerintah daerah akan memiliki tanggung jawab dan wewenang yang lebih besar dalam proses penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerahnya masing-masing. Sehingga, pembangunan transmigrasi harus adiletakan pada kerangka pembangunan daerah yang selanjutnya harus dapat dijabarkan dalam program-program transmigrasi.
Berdasarkan pada penjelasan di atas visi transmigrasi ke depan adalah “mewujudkan komunitas baru yang merupakan hasil integrasi harmonis antara penduduk setempat dan masyarakat pendatang, yang sejahtera serta dapat tumbuh dan berkembang secara mandiri dan berkelanjutan”. Adapun misinya adalah “engisi pembangunan di daerah sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat dan pendatang, serta sesuai dengan rencana pembangunan daerah dan rencana pembangunan nasional”. Misi di atas dilakukan melalui konsep pengembangan wilayah dan pengembangan masyarakat, antara lain dengan upaya peningkatan pembangunan daerah dalam rangka mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi yang ada, dan mewujudkan agropolitan baru sebagi pusat pertumbuhan ekonomi. Selain itu, dilakukan pendekatan kultural dengan memperhatikan sistem nilai dan perilaku serta adatistiadat masyarakat setempat, sehingga pembangunan transmigrasi tidak lagi bersifat eksklusif dalam kehidupan siklis, melainkan melalui berbagai teknik pembauran.
Konsep manajemen pembangunan transmigrasi yang dijalankan antara lain, pembangunan transmigrasi yang reformis tidak lagi menekankan pada target pemindahan transmigran, melainkan pada pencapaian pertumbuhan kesejahteraan transmigran yang dikaitkan dengan kemampuan daya beli dari transmigran yang paling miskin dengan ukuran keberhasilan minimal transmigran terhadap kebutuhan dasarnya. Selain itu, menjadikan transmigrasi sebagai suatu kebutuhan yang diminta oleh masyarakat setempat, dunia usaha, dan pemerintah daerah.
A.    Pengertian Mobilitas Penduduk
Mobilitas penduduk horizontal atau geografis meliputi semua gerakan (movement) penduduk yang melintasi batas wilayah tertentu dalam periode waktu tertentu pula (Mantra 1984, 4). Batas wilayah umumnya dipergunakan batas administrasi misalnya : propinsi, kabupaten, kecamatan, kelurahan atau pedukuhan. Bentuk-bentuk mobilitas penduduk dapat pula dibagi menjadi dua, yaitu mobilitas permanen atau migrasi, dan mobilitas non-permanen (mobilitas sirkuler). Migrasi adalah perpindahan penduduk dari satu wilayah ke wilayah lain dengan maksud untuk menetap di daerah tujuan. Sedangkan mobilitas sirkuler ialah gerakan penduduk dari satu tempat ke tempat lain dengan tidak ada niat untuk menetap di daerah tujuan. Secara operasional, migrasi dapat diukur berdasarkan konsep ruang dan waktu. Seseorang dapat disebut sebagai seorang migran, apabila orang tersebut melintasi batas wilayah administrasi dan lamanya bertempat tinggal di daerah tujuan minimal enam bulan (Mantra, 1984).
Ada beberapa teori yang menerangkan mengapa seseorang mengambil keputusan melakukan mobilitas. Pertama, seseorang mengalami tekanan (stres), baik ekonomi, sosial, maupun psikologi di tempat ia berada. Tiap-tiap individu mempunyai kebutuhan yang berbeda-beda, sehingga suatu wilayah oleh seseorang dinyatakan sebagai wilayah yang dapat memenuhi kebutuhannya, sedangkan orang lain tidak. Kedua, terjadi perbedaan nilai kefaedahan wilayah antara tempat yang satu dengan tempat lainnya. Apabila tempat yang satu dengan lainnya tidak ada perbedaan nilai kefaedahan wilayah, tidak akan terjadi mobilitas penduduk.
Perilaku mobilitas penduduk  menurut Ravenstein atau disebut dengan hukum-hukum migrasi penduduk adalah sebagai berikut (Mantra, 2003).
1.      Para migran cenderung memilih tempat terdekat sebagai daerah tujuan
2.      Faktor paling dominan yang mempengaruhi seseorang untuk bermigrasi adalah sulitnya memperoleh pekerjaan dan pendapatan di daerah asal dan kemungkinan untuk memperoleh pekerjaan dan pendapatan yang lebih baik di daerah tujuan. Daerah tujuan harus memiliki kefaedahan wilayah (place utility) lebih tinggi dibandingkan dengan daerah asal.
3.      Berita-berita dari sanak saudara atau teman yang telah berpindah ke daerah lain merupakan informasi yang sangat penting bagi orang-orang yang ingin bermigrasi.
4.      Informasi negative dari daerah tujuan mengurangi niat penduduk (migrasi potensial) untuk bermigrasi.
5.      Semakin tinggi pengaruh kekotaan terhadap seseorang, semakin besar mobilitasnya.
6.      Semakin tinggi pendapatan seseorang, semakin tinggi frekuensi mobilitanya.
7.      Para migran cenderung memilih daerah tempat teman atau sanak saudara bertempat tinggal di daerah tujuan. Jadi, arah dan arus mobilitas penduduk menuju ke arah asal datangnya informasi.
8.      Pola migrasi bagi seseorang maupun sekelompok penduduk sulit diperkirakan. Hal ini karena banyak dipengaruhi oleh kejadian yang mendadak seperti bencana alam, peperangan, atau epidemi.
9.      Penduduk yang masih muda dan belum kawin lebih banyak melakukan mobilitas dari pada mereka yang berstatus kawin.


B.     Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Mobilitas Penduduk
Mobilitas penduduk mempunyai pengertian pergerakan penduduk dari satu daerah ke daerah lain. Baik untuk sementara maupun untuk jangka waktu yang lama atau menetap seperti mobilitas ulang-alik (komunitas) dan migrasi. Mobilitas penduduk adalah perpindahan penduduk dari suatu tempat ke tempat yang lain atau dari suatu daerah ke daerah lain.
Penduduk yang melakukan mobilisasi tidaklah semata mata untuk berpindah tempat saja, tetapi hal itu dilakukan oleh karena dorongan dari tiga faktor yaitu:
a)      Penarik.
b)      Pendorong.
c)      Kendala.
Pada tahun 1885 E.G. Ravenstin ( Bogue, 1969: 755, dalam Suhardi, 2007) mempublikasikan yang dia sebut sebagai 7 hukum-hukum perpindahan penduduk (migrasi), yang terdiri dari:
1)      Migrasi dan jarak, kebanyakan migran melakukan perpindahan dalam jarak dekat. Bila jaraknya bertambah maka jumlah migrant yang berpindah menurun.
2)      Migrasi bertahap, penduduk semula pindah dari daerah pedesaan ke tepi kota besar sebelum masuk ke dalam kota besar tersebut.
3)      Arus dan arus balik, tiap adanya arus migrasi akan terjadi juga migrasi arus balik.
4)      Daerah urban (perkotaan) dan rural (pedesaan), penduduk perkotaan kurang melakukan migrasi dibandingkan dengan penduduk daerah pedesaan.
5)      Dominasi wanita pindah jarak dekat, dalam jarak dekat wanita pindah lebih banyak daripada laki-laki.
6)      Teknologi dan migrasi, perkembangan teknologi cenderung meningkatkan migrasi.
7)      Dominasi motif ekonomi, walaupun berbagai jenis faktor dapat mendorong terjadinya perpindahan akan tetapi keinginan untuk meningkatkan keadaan ekonomi merupakan kekuatan yang paling potensial.
Faktor pendorong (push) yang bersifat sentrifugal dan penarik (pull) yang bersifat sentripetal. Ardy (2008) mngungkapkan perpindahan dari daerah asal (area of origin) dimungkinkan oleh karena adanya beberap faktor pendorong yaitu:
1.      Turunnya sumber daya alam.
2.      Hilangnya mata pencaharian.
3.      Diskriminasi yang bersifat penekanan atau penyisihan
4.      Memudarnya rasa ketertarikan oleh karena kesamaan kepercayaan, kebiasaan atau kebersamaan perilaku baik antar anggota keluarga maupun masyarakat sekitar.
5.      Menjauhkan diri dari masyarakat oleh karena tidak lagi kesempatan untuk pengembangan diri, pekerjaan atau perkawinan.
6.      Menjauhkan diri dari masyarakat oleh karena bencana alam seperti banjir, kebakaran, kekeringan, gempa bumi, atau epidemic penyakit.
Perpindahan ke daerah tujuan (area of destination) dimungkinkan oleh karena adanya beberapa faktor penarik yaitu:
1.        Kesempatan yang melebihi untuk bekerja sesuai dengan latar belakang profesinya dibandingkan di daerah asal.
2.        Kesempatan memperoleh pendapatan yang lebih tinggi.
3.         Kesempatan yang lebih tinggi memperoleh pendidikan atau pelatihan sesuai dengan spesialisasi yang dikehendaki.
4.        Keadaan lingkungan yang menyenangkan, seperti cuaca perumahan, sekolah, da fasilitas umum lainnya.
5.        Ketergantungan, seperti dari seorang isteri terhadap suaminya yang tinggal di tempat yang dituju.
6.        Penyediaan untuk melakukan berbagai kegiatan yang berbeda atau yang baru dilihat dari berbagai sisi lingkungan, penduduk atau budaya masyarakat sekitar.
”Faktor pendorong dan penarik perpindahan penduduk ada yang negatif dan ada yang positif” (Abidin, 2010). Faktor pendorong yang positif yaitu para migran ingin mencari atau menambah pengalaman di daerah lain. Sedangkan faktor pendorong yang negatif yaitu fasilitas untuk memenuhi kebutuhan hidup terbatas dan lapangan pekerjaan terbatas pada pertanian. Faktor penarik yang positif yaitu daerah tujuan mempunyai sarana pendidikan yang memadai dan lebih lengkap. Faktor penarik yang negatif adalah adanya lapangan pekerjaan yang lebih bervariasi, kehidupan yang lebih mewah, sehingga apa saja yang diperlukan akan mudah didapat dikota.
Pada masing-masing daerah terdapat faktor-faktor yang menahan seseorang untuk tidak meninggalkan daerahnya atau menarik orang untuk pindah ke daerah tersebut (faktor +), dan ada pula faktor-faktor yang memaksa mereka untuk meninggalkan daerah tersebut (faktor -). Selain itu ada pula faktor-faktor yang tidak mempengaruhi penduduk untuk melakukan migrasi (faktor o). Diantara keempat faktor tersebut, faktor individu merupakan faktor yang sangat menentukan dalam pengambilan keputusan untuk migrasi. Penilaian positif atau negatif terhadap suatu daerah tergantung kepada individu itu sendiri.
Besarnya jumlah pendatang untuk menetap pada suatu daerah dipengaruhi besarnya faktor penarik (pull factor) daerah tersebut bagi pendatang. Semakin maju kondisi sosial ekonomi suatu daerah akan menciptakan berbagai faktor penarik, seperti perkembangan industri, perdagangan, pendidikan, perumahan, dan transportasi. Kondisi ini diminati oleh penduduk daerah lain yang berharap dapat memenuhi kebutuhan dan keinginannya. Pada sisi lain, setiap daerah mempunyai faktor pendorong (push factor) yang menyebabkan sejumlah penduduk migrasi ke luar daerahnya. Faktor pendorong itu antara lain kesempatan kerja yang terbatas jumlah dan jenisnya, sarana dan prasarana pendidikan yang kurang memadai, fasilitas perumahan dan kondisi lingkungan yang kurang baik.
Everet S. Lee (1996, dalam Chotib,) menambahkan bahwa selain kedua faktor pendorong dan penarik tersebut terdapat juga faktor kendala antar daerah asal dengan daerah tujuan, yang kemudian dikenal dengan faktor-faktor penarik kebutuhan (demand pull) pendorong penyediaan (supply push) dan jejaring (network).

C.    Macam-Macam Mobilitas Penduduk
Mobilitas penduduk dapat dibedakan antara mobilitas penduduk vertikal dan mobilitas penduduk horinzontal. Mobilitas penduduk vertikal sering disebut dengan perubahan status, atau perpindahan dari cara-cara hidup tradisional ke cara-cara hidup yang lebih modern. Dan salah satu contohnya adalah perubahan status pekerjaan. Seseorang mula-mula bekerja dalam sektor pertanian sekarang bekerja dalam sektor non pertanian. Mobilitas penduduk horizontal atau sering pula disebut dengan mobilitas penduduk geografis adalah gerak (movement) penduduk yang melintas batas wilayah menuju ke wilayah yang lain dalam periode waktu tertentu (Mantra, 1987). Penggunaan batas wilayah dan waktu untuk indikator mobilitas penduduk horizontal ini mengikuti paradigma ilmu geografi yang berdasarkan konsepnya atas wilayah dan waktu (space and time concept).
Mobilitas penduduk adalah gerakan atau arus perpindahan penduduk dari suatu tempat ke tempat lain. Peranan mobilitas penduduk terhadap laju pertumbuhan antara wilayah yang satu dengan wilayah yang lain berbeda-beda.Untuk Indonesia secara keseluruhan tingkat pertumbuhan penduduknya lebih di pengaruhi oleh tinggi rendahnya sifat fertilitas dan mortalitas,karena migrasi netto hampir dikatakan nol,tidak banyak orang Indonesia yang pindah keluar negeri,begitu juga orang luar negeri pindah ke Indonesia.
Mobilitas penduduk di bagi menjadi dua macam yaitu:
1.      Mobilitas permanen atau migrasi
Migrasi adalah perpindahan penduduk dari satu wilayah ke wilayah lain dengan maksud untuk menetap di daerah tujuan. Secara garis besar migrasi dapat dibagi menjadi dua,yaitu :
a.       Migrasi internasional yang dapat di bedakan atas migrasi masuk (imigrasi) dan migrasi keluar (emigrasi).
s  Imigrasi adalah masuknya penduduk suatu negara ke negara lain baik untuk maksud berkunjung, bekerja ataupun kepentingan lain dalam waktu tertentu atau untuk selamanya, seperti datangnya orang Eropa yang masuk ke Amerika.
s  Emigrasi adalah perpindahan penduduk dari suatu negara ke negara lain dengan tujuan untuk menetap atau bekerja(penduduk yang keluar dari suatu negara lain untuk menetap atau bekerja).
Contoh: perginya orang Indonesia (TKI atau TKW) ke timur tengah untuk bekerja.
b.      Migrasi internal yang disebut juga Transmigrasi
Transmigrasi adalah perpindahan penduduk dari suatu daerah ke daerah lain dalam suatu wilayah negara. Contoh:pindahnya penduduk dari jawa kedaerah daerah di Sumatra, Kalimantan, Irian jaya dsb. Tujuan Transmigrasi:
1.      Mengusahakan kekayaan alam di luar pulau jawa.
2.      Supaya terjadi asimilasi antar suku, sehingga perasaan kesukuan hilang. Dan ini merupakan salah satu realisasi dari Sumpah Pemuda.
3.      Untuk peertahanan keamanan dan ketahanan nasional.
4.      penyebaran penduduk supaya merata,sehingga program pembangunan dapat merata ke seluruh pelosok tanah air. Faktor faktor penghambat dan usaha mengatasi transmigrasi umumnya tradisi dan adat istiadat, rakyat petani umumnya sangat terikat pada tanah dan kampung halamannya.Sangat terkenal pepatah jawa yang berbunyi “makan tak makan asal kumpul”.
Usaha usaha untuk mengatasinya:
s  Meningkatkan kelancaran komonikasi antara daerah asal dan daerah transmigrasi sekurang kurangnya melalui hubungan pos.
s  mengadakan persiapan yang intensip bagi calon transmigran baik fisik maupun mental melalui penerangan pendidikan dan latihan.
s  Perlu ditingkatkan koordinasi dan singkronisasi antara daerah pengirim dan daerah penerima transmigrasi.

2.      Mobilitas non permanen atau mobilitas serkuler
Mobilitas penduduk sirkuler atau mobilitas non permanen adalah gerak penduduk dari suatu wilayah menuju ke wilayah lain dengan tidak ada niatan menetap di daerah tujuan. Sebagai contoh, di Indonesia (menurut batasan sensus penduduk) mobilitas penduduk sirkuler dapat didefinisikan sebagai gerak penduduk yang melintas batas propinsi menuju ke propinsi lain dalam jangka waktu kurang enam bulan. Hal ini sesuai dengan paradigma geografis yang didasarkan atas konsep ruang (space) dan waktu (time). Data mobilitas penduduk sirkuler sukar didapat. Hal ini disebabkan para pelaku mobilitas sirkuler tidak memberitahu kepergian mereka kepada kantor desa di daerah asal, begitu juga dengan kedatangan mereka di daerah tujuan. Meskipun deminian, dengan segala keterbatasan data, mobilitas penduduk Indonesia, baik permanent maupun nonpermanent (sirkuler) diduga frekuensinya akan terus meningkat dan semakin lama semakin cepat. Menurut Ananta (1995), suatu revolusi mobilitas tampaknya juga telah terjadi di Indonesia. Hal ini dipengaruhi oleh tersedianya prasarana transport dan komunikasi yang mewadai dan modern.

D.    Bentuk-Bentuk Mobilitas Penduduk
Mobilitas tradisional, dimana penduduk melakukan mobilitas atas dasar untuk memenuhi kebutuhan primer terutama pangan. Aktivitas mobilitas tradisional merupakan arus desa ke kota yang termasuk dalam pengertina urbanisasi.
Mobilitas pra-modern, yang merupakan transisi drai mobilitas tradisional menuju mobilitas modern. Dalam hal ini penduduk mulai melakukan mobilitas dengan tujuan yang lebih luas bukan hanya sekedar untuk cukuppangan. Aktivitas dari desa ke kota sangat meningkat disertai dengan mobilitas antar kota dan juga mobilitas dari kota ke luar kota (pedesaan). Sehingga terjadi dengan apa yang disebut urbanisasi modern. Penduduk mobilitas atau migrasi dengan tujuan yang lebih luas termasuk kesenangan dan kenyamanan
Mobilitas modern, dimana mobiolitas penduduk telah mmelampaui batas-batas Negara dengan berbgai macam-macam tujuan baik kegiatan perdagangan maupun berwiraswasta.
Mobilitas canggih atau super-modern, dimana mobilitas dilakukan telah melampaui pengertian berwiraswasta secara wajar yang dapat dimasukkan dalam kategori berfoya-foya dengan konsumsi yang berlebihan.
Bentuk mobilitas penduduk dapat dipahami berkaitan dengan keberhasilan dalam aktivitas ekonomi yang meliputi 2 komponen yaitu kesempatan kerja (produktifitas) dan pendapatan (atau dana). Komponen mobilitas tersebut dapat di pandang sebagai indikator kualitas kehidupan masyarakat.
E.     Perilaku Mobilitas Penduduk
Perilaku mobilitas penduduk oleh Ravenstain disebut dengan hukum-hukum migrasi sebagai berikut: Para migran cenderung memilih tempat terdekat sebagai daerah tujuan. Faktor paling dominan yang mempengaruhi seseorang untuk bermigran adalah situasinya memperoleh pekerjaan di daerah asal dan kemungkinan untuk memperoleh pekerjaan dan pendapatan yang lebih baik di daerah tujuan. Daerah tujuan mempunyai nilai kefaedahan wilayah (place utility) lebih tinggi dibanding dengan daerah asal. Semakin tinggi pengaruh kekotaan terhadap seseorang, semakin besat tingkat mobilitasnya. Semakin tinggi pendapatan seseorang, semakin tinggi frukuensi mobilitasnya
Penduduk yang masih muda dan belum kawin lebih banyak melakukan mobilitas dari pada mereka yang berstatus kawin. Penduduk yang berpendidikan tinggi biasanya lebih banyak melaksanakan mobilitas dari pada yang berpendidikan rendah. Kepuasan terhadap kehidupan di masyarakat baru tergantung pada hubungan sosial para pelaku hubungan sosial para pelaku mobilitas dengan masyarakat tersebut. Kepuasan terhadap kehidupan di kota tergantung pada kemampuan perseorangan untuk mendapatkan pekerjaan dan adanya kesempatan bagi anak-anak untuk berkembang. Setelah menyesuaikan diri dengan kehidupan kota, para pelaku mobilitas pindah ke tempat tinggal dan memilih daerah tempat tinggal dipengaruhi oleh daerah tempat bekerja.

F.     Sumber Data Mobilitas Penduduk dan Analisis
Pada umumnya ada tiga sumber data mobilitas penduduk yaitu: sensus penduduk, registrasi penduduk dan survei penduduk. Diantara ketiga sumber data mobilitas penduduk data yang didapat dari sensus penduduk dan survei penduduk yang paling lengkap, hanya kelemahannya data yang didapat dari sensus penduduk hanya meliputi mobilitas penduduk yang bersifat permanen saja. Dan hasil registrasi penduduk dan survei penduduk diperoleh data baik mobilitas permanen maupun nonpermanen, hanya kelemahannya tidak semua mobilitas penduduk dapat dicatat.

G.    Perubahan Mobilitas Penduduk Selama Transisi Demografi
Pada masa pretransisi, menurut Sutomo (2010:7) merupakan ”fase yang memiliki ciri-ciri adanya tingkat kelahiran yang tinggi, tetai diikuti pula dengan tingkat kematian yang tinggi. Dengan demikian, tidak terjadi perrtumbuhan penduduk”. Pada fase ini sumber daya manusia masih sangat rendah. pendidikan yang diteriama oleh setiap orang sangat terbatas. Hal ini menyebabkan pengetahuan yang dimiliki oleh orang-orang pada saat itu sangat rendah. Pengetahuan yang rendah ini sangat berdampak pada cara hidup mereka. Dalam memenuhi kebutuhannya orang-orang pada masa itu sangat bergantung pada alam. Terutama masalah kebutuhan pokok yaitu pangan, orang-orang pada masa itu melakukan kegiatan ”hunting and gathering” yaitu berburu dan mengumpulkan makanan. Demikian pula dengan kebutuhan-kebutuhan yang lainnya, mereka memenuhinya dengan cara yang paling sederhana. Karena ketersediaan sumber daya alam di suatu daerah terbatas jika di pakai terus-menerus suatu saat pasti akan habis juga. Jika hal ini terjadi maka terjadilah perpidahan penduduk. Mereka mencari tempat baru yang menurut mereka memiliki sumber daya alam yang melimpah yang bisa dipakai dalam beberapa waktu yang lama. Perpidahan ini relatif sering dilakukan oleh masyarakat pada saat itu sehingga mobilitasnya sangat tinggi.
Fase transisi dibagi menjadi 3 yaitu ”awal transisi, pertengahan transisi, dan akhir transisi” (Sutomo, 2010:7). Awal transisi memiliki ciri-ciri tingkat kematian mulai menurun, tetapi tidak diikuti oleh penurunan tingkat kematian. Pertengahan transisi ditandai menurunnya tingkat kelahihan, sementara tingkat kematian juga terus menurun. Sedangkan akhir transisi dicirikan menurunnya tingkat kematian dengan cepat, sementara laju penurunan tingkat kematian sudah melambat.
Sedangkan pada masa transisi, pendidikan sudah mulai berkembang. Masyarakat pada masa ini sudah memiliki cukup pengetahuan untuk memenuhi kebutuhannya dan tidak terlalu bergantung dengan alam. Penemuan-penemuan mulai bermunculan, baik dalam bidang kesehatan maupun yang lainnya. Hal ini berdampak besar bagi kualitas kehidupan manusia pada saat itu. Suatu perubahan yang paling besar adalah masyarakat pada saat itu sudah dapat menernakkan dan membudidayakan tanaman(domestikasi). Dengan berubahnya sistem hidup mereka dari hunting and gathering menjadi system yang lebih efisien yaitu domestikasi maka masyarakat pada saat itu mulai tingal menetap di suatu daerah. kebutuhan-kebutuhan mereka mulai dapat dipenuhi sendiri, ketergantungan pada alam pun mulai berkurang. Maka mobilitas masyarakat pun berkurang.
Fase terakhir yaitu fase posttransisi, menurut Sutomo (2010:7) mempunyai ciri-ciri ”baik tingkat kelahiran maupun tingkat kematian keduanya berada pada tingkat yang rendah. Dengan demikian, laju pertumbuhan penduduk menjadi sangat kecil, bahkan dapat terjadi tidak ada lagi pertumbuhan penduduk”
Pada fase terakhir yaitu fase posttransisi, dimana pendidikan yang didapatkan oleh setiap masyarakat sudah sangat tinggi, pengetahuan yang dimiliki pun bertambah dengan pesat. Banyak penemuan –penemuan baru di segala bidang. Kualitas kesehatan dan bidang-bidang lainnya sangat meningkat. Peningkatan teknologi menyebabkan semua kebutuhan yang diperlukan tersedia dalam suau tempat. Orang-orang idak perlu lagi bepergian ke tempat-tempat yang jauh untuk memenuhi kebutuhannya. Hal ini menyebabkan mobilitas penduduk pada masa itu sangat rendah.

Berbagai jenis migrasi yang terjadi membawa dampak yang berbeda-beda bagi masyarakat asal maupun masyarakat tujuan.
1)      Migrasi internasional
1.      Dampak negatif adanya imigrasi dan cara penanggulangannya
a.       Masuknya budaya-budaya asing yang tidak sesuai Makin banyak orang asing yang masuk ke Indonesia berarti makin banyak pula budaya yang masuk. Karena orang-orang asing tersebut juga membawa budaya Negara asalnya yang sudah melekat. Banyak budaya asing yang tidak sesuai dengan budaya asli bangsa Indonesia. Hal tersebut lambat laun dapat merusak budaya bangsa Indonesia. Contohnya adalah sikap konsumtif dan pergaulan bebas. Untuk mengatasi dampak negatif tersebut, kita harus menjaga budaya bangsa agar tidak terpengaruh dengan budaya luar. Di samping itu penduduk juga harus bersikap selektif dan mempertebal keimanan dan ketakwaan sehingga terhindar dari budaya-budaya yang bertentangan dengan nilai agama dan budaya bangsa. Pemerintah juga dapat berperan dengan menciptakan iklim kondusif bagi berkembangnya budaya-budaya daerah dan nasional, seperti dengan menetapkan undang-undang dan kebijakan-kebijakan yang mendukung upaya pelestarian nilai dan budaya bangsa.
b.      Masuknya orang-orang asing yang bermasalah. Imigran-imigran yang masuk ke Indonesia tidak semuanya berniat baik. Ada kalanya beberapa di antara imigran tersebut mempunyai tujuan yang tidak baik, seperti mengedarkan narkoba, menjual barang-barang ilegal, melarikan diri dari jeratan hukum di negaranya (buronan), untuk melakukan kegiatan memata-matai, dan lain-lain. Hal tersebut sangatlah mengganggu bagi kestabilan politik, ekonomi, sosial, dan budaya Indonesia. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan ketahanan nasional yang tinggi dengan melibatkan semua elemen bangsa. TNI dan Polri perlu meningkatkan kewaspadaan penjagaan terutama di daerah-daerah perbatasan dan melakukan pemeriksaan rutin dan disiplin terhadap imigran (WNA). Pemerintah melalui petugas keimigrasian dan bea cukai menerapkan aturan yang ketat dan disiplin dalam membuat ijin, memeriksa, dan menindak imigran beserta barang-barang yang masuk ke Indonesia. Masyarakat dapat bertindak proaktif dengan melaporkan ke pihak yang berwajib jika melihat kejanggalan-kejanggalan yang berkaitan dengan imigran (WNA).
2.      Dampak negatif adanya emigrasi dan cara penanggulangannya
a.       Keengganan orang-orang Indonesia di luar negeri untuk kembali ke Indonesia. Banyak orang Indonesia yang bekerja di luar negeri enggan untuk kembali ke Indonesia. Mereka beralasan bahwa upah pekerja di luar negeri lebih tinggi bila dibandingkan dengan di Indonesia. Selain itu, juga suasana dan kehidupan di luar negeri dianggap lebih kondusif. Keengganan para pekerja tersebut terutama tenaga ahli untuk kembali ke Indonesia dapat mengurangi tenaga ahli di Indonesia. Usaha untuk menanggulangi hal tersebut dapat dilakukan dengan memperkokoh rasa nasionalisme. Juga dapat dilakukan dengan menciptakan iklim dalam negeri yang kondusif, terutama dalam dunia industri dan investasi, sehingga memicu membaik dan meningkatnya kehidupan ekonomi masyarakat.
b.      Rusaknya citra Indonesia di mata negara lain. Rusaknya citra Indonesia di mata negara lain disebabkan oleh ulah orang-orang Indonesia di negara lain yang tidak bertanggung jawab, seperti melakukan tindak kejahatan di negara lain, buron yang lari ke negara lain, dan lain-lain. Untuk menanggulangi masalah tersebut dapat dilakukan oleh pemerintah melalui pihak keimigrasian untuk lebih memperketat perijinan pengajuan paspor/visa ke negara lain.
Pemerintah juga bisa menjalin kerja sama secara baik dengan aparat-aparat yang berwenang negara lain ataupun membuat kebijakan-kebijakan dan perjanjian-perjanjian dengan Negara lain, misalnya perjanjian ekstradisi dan lain-lain.
2)      Migrasi nasional
Migrasi nasional antara lain transmigrasi dan urbanisasi.
1.      Dampak negatif adanya transmigrasi dan cara penanggulangannya
a.       Memerlukan banyak biaya. Program transmigrasi terutama yang bukan swakarsa memerlukan banyak biaya. Biaya-biaya tersebut untuk pemberangkatan sejumlah transmigran dan pembukaan lahan baru. Untuk menanggulangi masalah tersebut pemerintah dapat memprioritaskan transmigrasi swakarsa, sehingga biaya ditanggung oleh transmigran sendiri. Adapun pemerintah hanya
 sebatas menyediakan lahan baru saja. Namun untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat agar melakukan transmigrasi swakarsa bukanlah pekerjaan yang mudah. Oleh karena itu pemerintah harus senantiasa memberikan penyuluhanpenyuluhan pada masyarakat.
b.      Sering timbulnya konflik antarmasyarakat Masyarakat setempat, khususnya masyarakat tujuan transmigrasi yang berada di pedalaman sangat sulit menerima pendatang baru, apalagi mereka menganggap bahwa transmigran mengambil lahan garapan mereka. Hal tersebut seringmemicu kecemburuan antara masyarakat setempat terhadap para transmigran, bahkan di antara mereka sering terjadi konflik. Untuk menanggulangi masalah tersebut perlu dilakukan penyuluhan dan pembinaan terhadap masyarakat setempat di daerah tujuan transmigrasi. Di samping itu, juga diberikan bantuan berupa fasilitas-fasilitas yang serupa yang diberikan pada para transmigran sehingga dapat meminimalisir kecemburuan sosial. Pemerintah juga bisa mengadakan forum bersama yang mempertemukan antara masyarakat setempat dan para transmigran, sehingga lebih mempererat hubungan di antara mereka.
2.      Dampak urbanisasi dan upaya penanggulangannya
Urbanisasi yang terus menerus berlangsung dapat meningkatkan
jumlah penduduk di kota dengan cepat. Di sisi lain jumlah penduduk di desa makin berkurang. Hal ini menyebabkan ketimpangan pembangunan dan ketimpangan sosial antara desa dengan kota. 
a.       Dampak negatif urbanisasi bagi kota
  • Meningkatnya jumlah pengangguran. Urbanisasi mengakibatkan, persaingan kerja makin tinggi dan kesempatan kerja makin kecil, sehingga orang sulit mencari  pekerjaan.
  • Meningkatnya angka kriminalitas. Kebutuhan hidup di kota sangatlah kompleks, namun usaha pemenuhannya kian sulit. Hal itulah yang membutakan mata sebagian orang, sehingga nekat menghalalkan segala cara demi memenuhi kebutuhan, seperti merampok, menipu, mencuri korupsi, dan lain-lain.
  • Munculnya slum area (daerah kumuh). Dengan adanya urbanisasi menjadikan lahan pemukiman
 makin sempit. Jumlah lahan yang tersedia tidak sebanding dengan jumlah penduduknya, sehingga sulit untuk mencari lahan untuk mendirikan rumah. Meskipun ada, lahan tersebut harganya sangat mahal, karena banyak orang yang menginginkannya. Mahalnya harga tanah tersebut menjadikan masyarakat tidak mampu membeli. Akhirnya mereka lebih memilih tinggal di kolong jembatan, bantaran sungai, membuat rumah kardus, bahkan ada yang tinggal di daerah pemakaman.
b.      Dampak negatif bagi desa
Urbanisasi ternyata membawa pengaruh yang besar bagi masyarakat di desa. Pembangunan dan dinamisasi desa menjadi menurun. Hal tersebut disebabkan karena:
  •  Tenaga terampil di desa berkurang karena berpindah ke kota.
  • Penduduk desa yang bersekolah di kota umumnya enggan kembali ke desa.
  •  Tenaga yang tertinggal di desa, umumnya orang-orang tua yang sudah tidak terampil dan produktif lagi. Untuk menanggulangi atau bahkan mencegah munculnya dampak-dampak negatif urbanisasi tersebut, perlu diupayakan untuk menekan dan memperkecil laju urbanisasi. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan:
  1.  Pemerataan pembangunan industri sampai ke desa-desa. 
  2.   Pembangunan infrastruktur jalan ke desa-desa, sehingga memperlancar hubungan desa dengan kota.
  3. Mengoptimalkan usaha pertanian, sehingga tingkat pendapatanmasyarakat desa.
  4. Pembangunan fasilitas umum di desa, seperti listrik, puskesmas, sekolah, pasar, dan lain-lain.